Jangan Bercermin di Tengah Malam
Oleh: Muhammad Ichsan Semma
Terinspirasi dari hikmah ke-142 Syarah Hikam Ibnu Atha’iyyah
الناس يمدحونك لما يظنونه فيك، فكن أنت ذاما لنفسك لما تعلمه منها.
“Ketika manusia
memujimu denga napa yang ia kira-kirakan ada padamu, jadi pencela bagi dirimu
sendiri dengan mengetahui yang ada pada dirimu.”
Jangan bercermin di tengah malam, mitos ini telah berkembang di
kantor selama beberapa hari terakhir. Semuanya berawal dari curhatan Ita, seorang
karyawan dari divisi media yang katanya mendapati bayangannya di cermin tidak
bergerak mengikuti gerakannya saat ia sedang meng-apply skincare rutin
malamnya sebelum tidur. Menurut ceritanya, bayangan diri Ita yang awalnya
mengikuti itu tiba-tiba berhenti dan membuat gerakannya sendiri.
Tangan bayangan itu, yang awalnya ikut menggosok-gosok muka sesuai
dengan gerakan Ita tiba-tiba ia turunkan. Seterusnya, bayangan itu meletakkan
kedua tangannya di atas meja. Menatap tajam Ita dengan wajah murung dan sorot
mata yang menusuk masuk langsung ke mata wanita itu, membuat ia tertegun dan
membeku sebab perasaan takut serta ngeri yang muncul hampir bersamaan. Setelah
sekitar beberapa detik waktu terasa layaknya terhenti, bayangan itu tiba-tiba
tersenyum lebar, begitu lebar hingga pipinya seperti hilang, matanya yang tadi
menusuk kini berubah terbelalak, menatap nyalang seperti anjing kelaparan
melihat tulang ayam sisa yang dibuang di tempat sampah.
Bayangan Ita, masih dengan wajah lembap bekas serum yang masih
belum meresap sempurna itu kini tertawa, menggelegar mengisi seisi ruangan,
terpantul di setiap sudut tembok. Bersamaan dengan itu, ia berdiri dengan
tangan yang ditelentangkan condong ke arah Ita, seperti hendak menerkam. Ita
yang tersentak ketakutan spontan berteriak, melompat dari kursi sebelum
akhirnya berlari cepat keluar dari kamar, menjauh dari cermin di meja riasnya.
Ia bercerita, bahkan saat sedang berlari ke kamar ibunya, dari balik pintu
kamar Ita yang masih terbuka setengah itu, gelegar tawa bayangan Ita masih
terdengar, sangat besar, sangat puas, seperti baru saja menertawai sebuah
kejadian yang lucu.
Desi sendiri sebenarnya tidak terlalu percaya cerita Ita itu.
Menurutnya cerita Ita itu tidak masuk di akal dan terlalu dibuat-buat. Terlebih
lagi, Ita menceritakan kisah itu sebagai alasan ia terlambat masuk kantor hari
itu, telat bangun sebab tak bisa tidur semalaman karena kejadian tersebut.
Meskipun pada akhirnya ia tetap dimarahi dan dapat peringatan dari atasan,
setidaknya reputasinya pada sesama rekan kerja di kantor tidak jadi buruk.
Lagipula sudah bukan rahasia lagi, gadis itu memang seringkali
tidak profesional dalam menyelesaikan tugas. Kerjaan sering ditinggal, deadline
sering kelewatan, dan bukan sekali itu saja ia terlambat masuk kerja. ia
sendiri pasti sudah merasa bahwa namanya seringkali dijadikan bahan gibah
anak-anak kantor, semua yang pernah seproyek dengan dia pasti harus menjadi
korban ketidakprofesionalannya. Contohnya si Fahrul kemarin, tenggat waktu
unggahan konten produknya lewat dua hari, padahal sudah ia selesaikan, tapi si
Ita itu malah lupa meng-upload-nya sebab terlalu sibuk menyelesaikan endorsement
skincare yang baru saja ia terima untuk di Instagram pribadinya. Hasilnya
Fahrul harus ikut kena marah atasan meskipun ia sebenarnya tidak salah.
Bagi Desi, cerita horor itu tidak lebih dari sekadar strategi agar
gibahan anak-anak kantor perihal ketidakkompetenan Ita itu bisa dialihkan.
Lihatlah sekarang! Orang-orang malah lebih sering membicarakan cerita horor
karangan Ita daripada mempertanyakan mengapa masih begitu beraninya ia datang
terlambat meskipun sudah beberapa kali kena peringatan.
Tapi memang tidak dapat dipungkiri, sangat mudah bagi Ita untuk
membuat semua orang memercayai, atau bahkan sekadar memerhatikan ceritanya.
Wajahnya yang cantik menjadi salah satu faktor, bentuk tengkorak yang dari
sananya memang sudah proporsional, ditambah lagi badannya yang langsing,
kencang, serta mumpuni bagian atas dan bawahnya, serta kulitnya yang putih
bersih seperti artis-artis korea di drama-drama itu. Bagi gadis dengan bentukan
fisik seperti Ita, yang selalu banjir akan puja, puji, dan perhatian dari
orang-orang terutama pria, menarik, mengolah, dan memanipulasi atensi bukanlah
hal yang begitu sulit.
“Astaga, Mbak, aku juga baru aja ngalamin hal yang sama, enggak
sama persis, cuman ini konteksnya beneran kayak gitu, please! Ini
beneran, kalian harus percaya, seratus persen real!!” suara cempreng
seorang gadis memecah lamunan Desi. Menariknya kembali dari lamunan dan
kekesalannya pada Ita. Sedari tadi ia memang hanya duduk saja memerhatikan
cerita wanita itu yang terus diulangi selama beberapa hari, terhitung ini hari
keempat ia berkisah, dan respons orang-orang selalu sama, entah ikut tegang,
hanya ber-oh, atau mencoba menyelingi dengan gerak-gerik caper murahan untuk
mendapat perhatian Ita.
Tapi hari ini ada yang berbeda, respons dengan suara cempreng tadi
menjadi semacam sebuah anomali dari rangkaian repitisi yang rapi, memecah hukum
pasti rutinitas dongeng Ita yang seakan solid. Gadis itu, kalau tidak salah
namanya Rani, seorang anak magang yang baru bergabung kemarin. Saat ini ia
sedang berdiri di tengah perkumpulan, bersiap memulai cerita horor cermin
versinya. Setelah gebrakan yang cukup untuk mengalihkan semua mata dari Ita,
kini ia memulai kisahnya sendiri. Desi kini mencoba menempatkan 80% fokusnya ke
kuping, ikut penasaran dengan apa yang akan diceritakan Rani, dengan 20%
matanya masih mengarah ke Ita yang berwajah cemberut sebab forum tidak resminya
secara resmi diambil alih oleh seorang anak magang.
“Saya ini ada ketertarikan di bidang seni tari. Sudah jalan
beberapa tahun dan alhamdulillah sudah tampil di beberapa event kota…”
Rani memulai, “… Biasanya itu kalau malam sebelum tidur, karena saya orangnya
suka ngehapalin gerakan sendiri, saya sering latihan depan cermin.”
“Beberapa minggu yang lalu sebenarnya komunitas kami ada jadwal
untuk tampil di salah satu event kesenian kota. Sebelum hari penampilan
itu kami latihan penuh dari siang sampai sore. Saya sendiri karena biasanya
emang suka ngelanjutin latihan sendiri di rumah, saya lanjutlah. Jadi nyampai
rumah itu, selepas makan dan bersih-bersih, saya berdiri di depan lemari saya
yang salah satu pintunya itu full cermin.”
“Dari sekitar jam 9 malam saya ngulang gerakan terus, awalnya
enggak ada yang aneh sampai sekitar jam 10an malam,” Rani menarik napas dalam,
membuat orang-orang di sekitarnya, termasuk Desi yang duduk di sisi yang agak
jauh juga ikut menahan napas. Perasaan tegang mulai menyelimuti ruangan,
menunggu Desi untuk melanjutkan.
“Saya ingat banget, waktu itu sempat ngecek jam, sepuluh lewat lima
belas menit, di situ saya mutusin buat latihan gerakan terakhir, soalnya udah
tengah malam juga. Mulailah saya menari lagi, di pertengahan tarian, saya mulai
merasa aneh, entah mengapa ekor saya menangkap bayangan saya justru melakukan
gerakan tarian itu lebih cepat daripada saya. Awalnya saya rasa itu cuman
semacam halusinasi saja karena mungkin saya sudah lancar, atau juga karena saya
sudah capek. Tapi kesenjangan gerakan antara saya dan bayangan itu serasa
menjadi semakin renggang tiap detiknya, mulanya mungkin cuman kecepatan gerakan
saja, sampai akhirnya langkah-langkah gerakan tarian kami menjadi benar-benar
berbeda, ia mengambil gerakan duluan sementara saya justru mulai menjadi yang
dipaksa untuk mengikuti.”
Ekspresi semua orang berubah ngeri, Rani yang seakan merasakan
perubahan di wajah orang-orang tersebut langsung kembali menambahkan. “Itu
belum selesai, Mbak, Mas, ceritanya. Ini yang jauh lebih seram lagi.” Ia
kembali memberi jeda, kali ini sambil mengangkat telunjuk setara dengan dada,
menunjuk langit-langit, memutarnya di depan wajah para pendengarnya seperti
sedang memberi sebuah peringatan.
Bersamaan dengan helaan napas yang cukup berat, Rani melanjutkan
ceritanya. “Lebih mengerikannya lagi, waktu saya menyelesaikan semua gerakan
dan berniat untuk berhenti, bayangan itu malah kembali ke gerakan awal. Saya
yang langsung terduduk dan bersandar di pinggir kasur setelah kecapekan hanya
bisa membeku saat melihat bayangan saya kembali berdiri, tersenyum begitu lebar
dengan mata membelalak menatap saya, kemudian menari, sambil senyum dan matanya
tetap terarah pada saya.”
“Saya ketakutan, tapi badan saya sudah terlanjur membeku, saya
enggak bisa gerak, semua sendi saya seperti diikat dan digantungi batu besar,
berat sekali. Seperti ada sebuah tenaga yang menahan agar tetap di situ,
dipaksa untuk menontonnya. Saya merasa keringat sudah hampir mengaliri setiap
jengkal badan, bercucuran, menetes seperti keran yang salurannya bocor meski
sudah ditutup. Sedikit demi sedikit tetesan itu berubah menjadi aliran air.
Tapi ini bukan keringat dingin, peluh ini adalah peluh si bayangan, semakin ia terus
mengulang gerakan semakin berkeringat ia, juga secara tak langsung semakin
berkeringatlah saya. Saya tidak mengerti apa yang terjadi, tenaga saya seperti
tersedot. Peluh ini datang diikuti dengan rasa lelah yang tak tertahan.
“Lima belas menit saya habiskan hanya duduk di situ, menutup muka
dengan tangan, menangis. Dari sela-sela jari saya mengintip, bayangan itu masih
terus menari. Badannya menjadi semakin basah oleh peluh, baju kaos yang ia
pakai sudah mulai meresap terlalu banyak air, menjadi lengket dengan badan,
begitu juga dengan badan dan bajuku yang hanya terduduk. Di menit berikutnya
badan saya mulai terasa panas, perlahan tapi pasti, berawal hanya dari hangat
di belakang tengkuk leher, kemudian menjalar ke seluruh badan, menggigiti
setiap sendi. Saya merasa terbakar, hawa panas yang datang entah dari mana ini
membuat napas saya sesak, oksigen yang saya hirup juga menjadi panas, tak kuasa
diterima oleh paru-paru Setelah beberapa saat diserang hawa panas itu, saya
akhirnya kehilangan kesadaran.”
Semua orang di tongkrongan itu mendengarkan dengan ekspresi wajah
tertahan. Berbeda dengan cerita Ita, Rani mengisahkan kejadian ini dengan storytelling
yang jauh lebih dramatis. Bukan sekadar mengeluh sambil mendayu-dayukan
suara, Rani benar-benar berusaha dengan maksimal untuk membawa kembali cerita
tersebut ke masa kini, walau sekali lagi, bagi Desi benar atau tidaknya cerita
Rani masih jauh dari standar dapat dipercaya.
Sejenak, Desi mengalihkan fokusnya yang sedari tadi terpaku pada
orang-orang yang duduk melingkar di depannya menuju ke jam dinding di ruangan
tersebut. Waktu sejam untuk makan siang kini tersisa lima belas menit, ia
memutuskan untuk beranjak ke kantin. Jangan sampai ia jadi keenakan mengikuti
kisah-kisah horor itu lalu lupa mengisi perut yang sedari tadi cacing-cacing di
dalamnya sudah berdemo sebab tidak diberi jatah sarapan.
Di kantin, Desi sedang memilah-milih menu makan siangnya ketika
suara seorang perempuan menegur.
“Lho, Kak Desi baru mau makan, tumben ke kantinnya telat.” Desi
menoleh pada si empunya suara, melihat Ratna sudah berdiri di sana memegang
dompet, sepertinya hendak membayar.
“Iya, nih. Habis ikutan dengar cerita horor anak-anak di atas.”
“Oh, pasti dari si Rani, yah.”
“Lah, kok tahu, kamu?”
“Iyalah tahu, aku kan kemarin ikut juga event seni tari yang
dibatalin itu.”
“Oh, kamu ikut juga. Suka nari juga, Yah. Baru tahu aku.”
“Hehehe, dikit-dikit, sih. Memang enggak banyak yang tahu, sengaja
juga. Tapi kalau saranku sih, Kak, jangan terlalu percaya sama si Rani itu.”
Desi mengernyitkan dahi, mencoba menyelidiki. “Emang kenapa?”
“Hmmm, gimana, yah. Rani itu sebenarnya anak yang paling unggul di
antara semua anak komunitas. Dia emang jago narilah. Dia sering dipuji sama
senior-senior komunitas yang lainnya, tapi orangnya sering sombong gitu, agak pick
me juga orangnya. Nah, pas kemarin itu enggak tahu kenapa dia agak susah
ngehapalin gerakan. Masalahnya ini event besar, aku curiganya dia
sengaja buat cerita kayak gitu karena takut reputasinya rusak.”
“Lagian…” lanjut Ratna, “… orang kayak Rani tuh, kak terlalu
kemakan ama puja-puji orang lain. Takut banget orang-orang enggak merhatiin
dia. Lagipula, aku juga berani taruhan, semua kata-kata manis itu enggak semua
yang betulan, ada yang cuman iseng, caper, atau bahkan malah emang cuman
munafik, ngejilat di depan ngeludah di belakang.”
Desi tersenyum kecil, celotehan tajam Ratna terasa menggelitik
hatinya. Ia masih diam, membiarkan wanita di depannya melanjutkan bicara.
“Aku sendiri lebih suka yang kayak kak Desi, nih. Sederhana, enggak
banyak ceplas-ceplos, enggak gila perhatian, tegas. Hidup kayak begitu tuh
lebih tenang menurutku. Jadinya enggak perlu banyak drama sana-sini. Lagian
juga kalau mau dibandingin, sebenarnya Kak Desi juga enggak kalah cantik
dibandingkan orang-orang kayak gitu, bedanya yah Kak Desi lebih milih jadi low
profile aja.”
Senyum Desi melebar. Tidak biasanya ia dipuji seperti itu, apalagi
oleh sesama perempuan. Demi menghindari merah pipinya yang semakin merona sebab
ceplas-ceplos Ratna ketahuan oleh juniornya di kantor itu, ia memilih berlalu.
Memegang bahu Ratna sejenak kemudian pamit kembali ke atas, tidak jadi memesan
makanan. Demo diperutnya yang dari tadi membara seakan teredam, ia memilih
kembali ke atas sebelum jadwal makan siang habis.
Malam itu, setelah pulang kerja, suara celotehan Ratna masih
bergaung di kepala Desi. Perihal ia yang dinilai low profile, ia yang
digambarkan sebagai wanita tegas, ia yang dibilang cantik. Sejak dulu ia memang
bukan orang yang sering menjadi pusat perhatian umum. Sebaliknya, ia malah lebih
sering menyisihkan diri dari keramaian, fokus pada pekerjaan yang harus ia
lakukan, dan membatasi komunikasi yang berlebihan dengan orang lain.
Bukan tanpa sebab, sejak kecil ia memang selalu merasa tak ada yang
perlu begitu dibanggakan dari dirinya. Wajahnya bisa dibilang standar, dari
segi akademis di sekolah pun ia tidak begitu menonjol, hanya terus berusaha
agar nilainya tidak di bawah rata-rata. Ia tak pernah merasa sebegitu penting
untuk mendapatkan atensi dari orang-orang di sekitar.
Tapi tadi siang, entah mengapa pujian Ratna terasa begitu
menyenangkan untuk terus diingat. Buktinya saja hingga sekarang ini, setelah
selesai mandi dan beres-beres, Desi yang biasanya berbaring di kasurnya sambil
berpikir ingin makan apa untuk malamnya kini terduduk, senyam-senyum sendiri
sembari terus mengulang kejadian tadi siang di kepalanya.
“Aku dibilang cantik,” gumamnya pelan, dengan kata-kata yang masih
digulung senyum. “Tapi apa benar, Yah? Apa dia bilang begitu cuman karena aku
lagi di depannya? Kalau di belakangku apakah dia akan mengatakan hal yang sama?”
Keraguan itu datang tiba-tiba. Keraguan yang juga akhirnya mendorong Desi untuk
beranjak dari kasur ke depan cermin.
Cermin itu cukup besar, cukup untuk memantulkan bayangan sebadan
dari ujung kaki hingga ujung kepala, menempel kuat di dinding kamar Desi.
Wanita itu mengernyit, memerhatikan lekat bayangan wajahnya yang terpantul di
permukaan cermin yang tidak jelas, buram terhalang debu. Ia tidak ingat kapan
terakhir kali benar-benar mematut dirinya di depan cermin itu, juga kapan
terakhir kali mengelapnya.
Ia mengambil kain basah, mengelap cermin tersebut. Lalu kembali
menilik dalam bentuk wajahnya. “Muka sepucat ini dibilang cantik?” ia kembali
bergumam. Selama ini kata cantik bukanlah wacana yang identik dengan
perawakannya, bahkan beberapa kali para lelaki di kantor menyindir agar ia
belajar berdandan, katanya supaya terlihat sedikit lebih segar. Bukan hanya
itu, teman-teman wanitanya juga selalu menyinggung perihal ia yang tidak
terlihat peduli pada penampilan sendiri, secara langsung mengatainya kucel dan
kusam. Tidak sedikit juga yang mencoba memberiya hadiah perlengkapan make up
ataupun skincare, mengatakan bahwa ia harusnya bisa menjadi lebih cantik
saat mengaplikasian semua benda itu di wajahnya.
Ia juga masih ingat dengan jelas kejadian beberapa minggu lalu.
Ketika beberapa orang diminta untuk memaparkan presentasi kepada calon klien
kantor mereka. Saat itu semua yang hadir memuji hasil presentasi Desi yang
dinilai paling unggul di antara semua orang. Ia sudah sangat siap untuk
pertemuan dengan klien tersebut sebelum akhirnya malah diberitahu untuk
memberikan materinya ke Ita, serta men-training Ita untuk presentasi
dengan alasan bahwa sebenarnya Ita lebih cocok untuk mengisi presentasi ini
sebab klien tersebut bergerak di bidang kosmetik dan kecantikan. “Sialan!”
umpat Desi dalam hati ketika rangkaian memori itu terpaksa kembali terputar di
kepalanya.
Malam berlalu cepat diiringi selingan tangis wanita itu. Entah
sudah berapa jam Desi membenamkan wajah di bantal. Berharap kepalanya yang
cukup tebal itu cukup besar menenggelamkan bukan hanya wajahnya, tapi juga
sekujur tubuh dan keberadaannya di dunia ini. “Sialan!” ia mengumpat lagi. Kali
ini sambil mengangkat kepala.
Sejenak, ia pandangi bantalnya itu, yang sudah basah oleh banjir
air mata dan setetes dua tetes ingus. Beberapa detik kemudian ia beranjak,
kembali ke depan cermin. Sekarang dengan membawa beberapa perlengkapan make
up dari laci kecilnya, alat-alat yang begitu jarang bahkan nyaris tak
pernah ia sentuh. “Tidak bisa seperti ini,” ujarnya dalam hati. “Aku harus
memastikan bahwa aku benar-benar cantik dan bisa dandan, aku harus memastikan
pujian itu benar-benar nyata.”
Setelah memakai pelembap, Desi langsung coba mengaplikasikan
kusion, sambil mengingat-ingat urutan yang harus dilakukan, ia juga beberapa
kali membuka tutorial di media sosial. Setengah jam berlalu, ia masih bergelut
dengan alis yang seringkali panjang atau tebal sebelah. Setengah jam berikutnya
ia berdecak malas, blush on yang semestinya membuat pipinya merah merona
malah membuat ia terlihat seperti ondel-ondel. Ia kembali terduduk di kasur,
menghela napas.
“Tidak, jangan menyerah dulu, tinggal sedikit lagi,” ucapnya dalam
hati, menyemangati diri. Lima belas menit kemudian ia kembali berdiri di depan
cermin, mengulang semua langkah-langkah dari awal. Menyeimbangkan alis hingga
mengatur volume bedak dan lipstik dengan lebih proporsional. Tiga puluh menit
kembali berlalu ketika akhirnya ia melompat kegirangan, dengan alis yang
selaras dan blush on yang kini pink merona, tidak lagi berwarna merah
ondel-ondel.
“Lumayanlah,” ucapnya. “Tapi kayaknya butuh mengulang sekali lagi
untuk menyempurnakan.” Ia kemudian beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka,
kemudian kembali lagi untuk pengaplikasian yang terakhir.
Deg, apa yang terjadi? Siapa gadis di cermin itu? Demi melihat
bayangan dirinya sendiri di cermin saat ini Desi mematung, tergagap. Wanita di
cermin itu bukan dirinya, memang ia memakai baju yang sama, tinggi badan dan
bentuk badan yang sama. Tapi wajah itu, bukan sama sekali wajahnya, wajah yang
dipenuhi bubuk putih bedak, dengan alis mencong ke sana-sini, bahkan salah satu
alisnya tersambung hingga ke pangkal pipi. Blush on-nya begitu menor
hingga menjadi seperti warna merah darah. Wanita itu menatap tajam ke arahnya,
dengan senyum lebar hingga memperlihatkan dua gigi gerahamnya.
Desi mencoba tenang, menimbang, apakah ini juga yang terjadi pada
Desi dan Rani? Jika iya, ia harus pergi maka ia harus cepat lari dari sini,
keluar kamar, menginap di rumah sepupunya yang berjarak tak jauh dari sini.
Apapun itu tidak boleh terus di kamar ini. Ia mencoba melangkah mundur ke
belakang, mengambil ancang-ancang untuk balik badan. Meraih tasnya yang
tergantung pada gantungan di sisi lain kasur.
Deg, apa yang terjadi? Kakinya tak bisa bergerak, begitu berat
seperti tertanam di tanah. Ia mulai panik kembali, sejenak melihat kakinya yang
benar-benar tak mau mengikuti kehendak si pemilik. Semua tenaga sudah ia
kerahkan hingga otot betisnya serasa mau putus, tetap tak bisa, ia terjebak
dalam kebekuan badannya sendiri.
“Mau ke mana?” suara itu bertanya dengan suara Desi yang sedikit
didayu-dayukan. Mengambil alih seluruh perhatian wanita itu dari kakinya
kembali ke cermin. Bayangan itu, ia berbicara dan bisa terdengar dengan jelas.
Matanya menatap Desi dengan kondisi membelalak begitu lebar hingga seperempat
bola matanya terlihat seperti ingin melompat keluar. Ia tersenyum usil, kakinya
melangkah ke depan, menuju meja di dekat cermin tempat alat-alat make up tadi
tersimpan. Beriringan dengan langkah pertamanya, kaki Desi juga mengikuti,
bergerak di luar kendali si pemilik.
Bayangan tersebut mengambil lipstik, Desi mengikuti, mengangkatnya
setara dengan bibir wanita itu. “Kan mau apply sekali lagi,” bayangan
itu kembali berbicara, kali ini diakhiri dengan tawa yang seakan mengejek. Desi
sendiri sudah sedari tadi menangis, air mata sudah membanjiri pipinya, ia
terisak sambil memegang lipstik yang semakin mendekat ke bibirnya tanpa ia mau.
Di tengah isakan itu ia mencoba memohon.
“Tolong, jangan, saya minta tolong janga…” Belum selesai ia
memohon, wanita di cermin itu telah menggosokkan lipstik dengan kasar dan
sembarangan ke wajahnya, membuat Desi, kembali lagi, terpaksa mengikuti. Tidak
perlu waktu lama, warna merah kini sudah memenuhi wajah wanita itu, mulai dari
bibir, pipi, hingga leher. Semuanya menjadi korban corat-coret serampangan yang
dilakukan oleh wanita di cermin. Desi tak bisa melawan, tubuhnya seperti telah
dikuasai sepenuhnya. Badannya sudah terasa sangat lemas, lututnya sedari tadi
bergetar karena adrenalin dan kelelahan, tapi kakinya tetap kokoh menapak,
seakan tak diberi izin untuk melemaskan setiap sendinya.
Satu-satunya perbedaan di antara mereka berdua kini hanyalah tawa
dan tangisan. Sementara Desi terus menangis dan memohon untuk dihentikan,
wanita di cermin itu malah tertawa terbahak-bahak, terdengar begitu puas.
Beberapa menit kejadian itu terus berlanjut hingga akhirnya pandangan Desi
memburam, kepalanya serasa menjadi ringan, kakinya yang sedari tadi seperti
terpaku di lantai terasa seperti tak lagi menapak. Tubuhnya seakan melayang
sebelum semua akhirnya gelap.
***
Sudah lewat tiga puluh menit sejak jam masuk kantor, meja kerja
tempat biasanya wanita itu duduk masih tak terisi. Di tengah berbagai kesibukan
pagi, orang-orang yang sedari tadi memfokuskan mata ke komputer masing-masing
sesekali melirik ke meja tersebut, bertanya dalam hati perihal keberadaan si
pemilik tempat. Tidak pernah sekalipun ia terlambat sebelum hari ini.
“Halo semuanya!” Suara seorang perempuan menyapa dengan lantang di
ambang pintu. Orang-orang di ruangan tersebut berbalik, menatap selidik pada si
empunya suara yang ternyata juga pemilik tempat yang terlambat tadi. Tak bisa
mereka sembunyikan pandangan heran yang langsung menghujam pada wanita itu.
Tidak pernah sekalipun ia masuk menyapa dengan suara besar saat masuk kantor,
selama ini ia lebih dikenal sebagai wanita judes yang pendiam, apa yang
sebenarnya terjadi? Kemudian lihatlah! Wajah wanita itu, wajah yang tak pernah
tersentuh make up dan sejenisnya, kini benar-benar terhias dengan
lipstik, alis, dan blush on. Kesurupan apa wanita ini? Apakah ini
benar-benar Desi?
“Maaf, yah telat. Tadi malam aku tidurnya telat,” ucap wanita itu
lagi sambil berjalan menuju meja kerjanya, meletakkan tas kemudian menyalaka
komputer.
Seorang lelaki yang posisi duduknya bersisian dari meja kerja
wanita tersebut tampaknya tak kuasa menahan penasaran. Memutuskan untuk
berbalik, langsung bertanya.
“Des, kamu kok telat, enggak biasanya, kamu sakit?”
“Enggak, kok. Cuman telat tidur.”
“Kok bisa telat tidur sih, emangnya semalam kamu ngapain.”
Wanita itu menghela napas, berbalik menatap lelaki itu dengan
dalam, tatapan yang begitu tajam hingga membuat si lelaki memundurkan badan,
memasang gestur defensif.
Desi mencondongkan badan ke arah lelaki itu, masih dengan mata yang
terpaku pada kedua mata si lelaki. Ia berdiri, melangkah mendekatkan diri,
memangkas jarak hingga memungkinkan Desi untuk berbisik di telinganya.
“Soalnya, semalam saya bercermin sampai tengah malam,” ucapnya
pelan di telinga si lelaki, sebelum akhirnya menarik badannya kembali sambil
tersenyum.
“Udah, yah nanyanya, saya mau mulai kerjaan, udah telat ini.” ujar
wanita itu dengan nada ceria, meninggalkan si lelaki yang masih tertegun dengan
kejadian barusan. Berusaha mencerna dengan baik apa yang baru saja terjadi,
keringat dingin keluar satu dua tetes dari pelipisnya, suara itu, suara berat
yang tadi berbisik di telinganya, itu sama sekali bukan suara Desi.




Comments
Post a Comment