Keromantisan Hanum, Tutie, & Wardatul Ula bersama Hikmah ke-26 Imam Ibnu ‘Atha'illah As-Sakandari di langit Eropa.
Oleh: Mirwan Sudarmawan R.
Kembali
ke rel yang Allah ridai merupakan langkah yang cukup benar dilakukan bagi
setiap orang. Tetapi, sering kali menyadari kembali di jalan Allah itu muncul
setelah kita merasa buntu dan kebingungan tentang usaha apa lagi yang harus dilakukan
saat berada di titik buntu seperti itu. Hal tersebut merupakan kesalahan bagi
sebagian orang di zaman ini yang lebih banyak mengandalkan dirinya dalam
menggapai keinginannya. Bergantung pada usahanya, jabatannya, orang lain ataupun
atasannya adalah hal-hal yang membuat dirinya bisa menjadi sebab kegagalan
dalam meraih kesuksesan.
Beda
halnya Hanum, Tutie dan Wardatul Ula adalah penulis sekaligus tokoh dari buku
yang berjudul Berjalan di Atas Cahaya: Kisah 99 Cahaya di Langit Eropa. Berupa
karya yang sangat eksotik dan religius. Mereka ditakdirkan untuk melanglang
buana di Eropa. Ketiganya merupakan sosok muslimat yang taat kepada Allah,
sekalipun berada dalam lingkungan yang tidak begitu religius. Mereka selalu
berusaha menunjukkan Islam di tengah pandangan Islamfobia orang-orang Eropa
sana. Di setiap langkah, mereka selalu berharap pertolongan Allah melalui
niat-niat baiknya.
Jika
melihat pintu-pintu rahmat Allah, memang sudah selayaknya seorang hamba sejati
menyandarkan seluruh keinginannya pada Maha Serba Ada dan Maha Serba Bisa.
Tuntunan, ganjaran, serta pedoman sudah sangat jelas, bahwa memulai sesuatu
tidak ada cara lain kecuali bersama Allah, apalagi jika orientasinya adalah
keberhasilan yang terberkahi.
Syekh
Ibnu Atha'illah As-Sakandari pernah berkata dalam kitab Al-Hikam
Al-‘Athaiyyah hikmah ke-26:
النجح في النهايات الرجوع إلى الله في البدايات
من علامات
Tanda-tanda
kesuksesan di akhir itu adalah dengan merujuk kepada Allah sejak permulaan.
jika
kita ingin menguliti kalimat ini dan menghubungkan dengan problem di atas, saya
yakin kita akan menemukan sebuah konklusi yang sangat luar biasa dan mampu
memberikan dampak positif yang besar dalam hidup ini.
Dari
kalimat di atas Imam Ahli Hikmah tersebut seakan ingin memberikan spoiler
dan rasa penasaran kepada pembaca tentang apa syarat dan tanda kesuksesan di
akhir usaha itu, karena bisa saja ia
memulai dengan format kalimat;
الرجوع إلى الله
في البدايات هو علامات النجح في النهايات.
Tentunya
memiliki makna yang sama dan sesuai dengan keteraturan penyampaian informasi
dengan mendahulukan yang awal lalu akhir. Tetapi, untuk menarik perhatian ia
membalik sehingga kalimat ini menjadi sangat unik.
Tepat
setelah Hikmah ini, Syekh Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari menyebut
dalam kerangka kalimat pada umumnya, tapi dengan pembendaharaan kata yang
berbeda:
من أشرقت بدايته،
أشرقت نهايته.
Memaknai
kalimat Imam yang makamnya berada pada bukit Mokattam tersebut bisa dimulai
dengan kalimat keduanya, yaitu kembali ke jalan Allah adalah sebaik baiknya
permulaan. Terus apa bentuk permulaan yang dimaksudkan dalam perspektif Islam?
Tidak lain tidak bukan adalah niat. Dalam Islam niat adalah sesuatu yang harus
dilakukan, sesuai hadis Rasulullah dalam kitab Arbain Al-Nawawi:
إنما الأعمال بالنيات
Seluruh
amalan itu didasari dengan niat.
Tidak
ada amalan yang bisa sampai pada tujuannya dengan baik kecuali diawali dengan
niat yang jernih karena Allah taala.
Hal
ini selaras dengan perkataan Maulana Syekh Ali Jum’ah di dalam majelisnya:
ما بني على باطل فهو باطل في النهاية
Apa
yang dimulai dengan suatu kebatilan maka hasil akhirnya dapat dipastikan akan
Batil pula.
Oleh
karena itu, Allah memerintahkan:
فَإِذَا عَزَمْتَ
فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ
Apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. (Al-Baqarah: 159)
Keteguhan
niat itu tercerminkan dari langkah tiga penulis buku 99 cahaya Allah di langit
Eropa tersebut. Hanum dengan misi mulianya, meyakinkan hatinya untuk melangkah
kembali ke langit Eropa dengan persiapan yang sangat minim dan akomodasi yang
super standar. Tutie yang setiap langkahnya terus menerus meyakinkan dirinya, karena
kepergiannya ke Austria adalah pengalaman pertama. Begitu pun Wardatul Ula,
harus rela meninggalkan Aceh demi meraih impiannya di negeri yang dijuluki
tanah empat musim itu. Sekalipun berat, kekuatan tekadnya sangat kental pada
tulisannya pada Bab “Ke Aceh Saya Akan Kembali” di buku tersebut.
Mereka
semua memiliki azam yang tidak hanya dilisankan saja, tapi kuat dalam menjalani
tantangan di negeri orang. Tentu, Memiliki gelombang kesulitan yang tidak
sedikit dan tidak kecil. Jiwa-jiwa struggling harus ter-cash full
setiap harinya.
Itulah
mengapa Islam dari awal menekankan persoalan niat karena setelah menguatkan dan
menjernihkan niat, maka ada hal berat selanjutnya yang harus dilakukan, yaps
betul berusaha. Berusaha dalam memanfaatkan seluruh potensi yang ada dan sesuai
dengan koridor Islam. Mengerahkan seluruh upaya yang bisa dilakukan untuk
meraih keinginan tersebut. Hal ini selaras dengan perkataan Maulana Syekh Muhammad
Mutawalli Al-Sya’rawi bahwa:
الجوارح تعمل
والقلوب تتوكل
Anggota
tubuh melakukan usaha yang optimal dan hati tetap bergantung kepada Allah.
Islam
adalah agama yang menuntut kerja keras, ulet dan giat serta tidak
menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Sebagimana langkah Hanum dalam mengambil
kesempatan untuk memotret dan mencari tahu hal-hal unik ramadan di Eropa.
Sekalipun agak ragu, tapi tekad yang kuat dan usaha yang maksimalnya serta
kepasrahannya kepada Allah begitu besar, Allah mengatur seluruhnya, dan
dimudahkan dalam setiap tantangan yang dialami.
Dalam
perjalanan menggapai hasil sudah tentu banyak sekali godaan yang membuat
perjalanan bisa membelok. Sebagaimana banyak disaksikan orang-orang yang
memiliki perilaku baik namun di tengah perjalanan dia berubah dan berpaling dari ajaran-ajaran Allah. Oleh kareba itu, Allah telah memperingatkan kita
فَٱسْتَقِمْ كَمَآ
أُمِرْتَ
Maka
tetaplah kamu pada jalan yang benar. (Hud:112)
Apa
yang dilakukan Hanum ketika sepanjang harinya dihantui overthinking karena
kekurangan akomodasi materi yang sedari awal ia sadari tak kunjung mendatangkan
solusi, tetapi harapnya tersalurkan dalam doa-doa yang berstatus ibnu sabil
senantiasa dilangitkan di langit Austria. Seketika bantuan itu menghampirinya
tanpa terpikirkan sebelumnya. Sikapnya yang beramah ria pada orang sekitar
sebagaimana yang telah Rasulullah contohkan, kemungkinan menjadi buah manis
baginya berupa pertolongan yang dimana bekal dananya tidak sedikit pun
berkurang.
Begitu
pun Tutie, kepercayaannya pada Allah tak pernah luntur di tengah ombak kesulitannya
bahkan semakin kuat. Tetap menunaikan salat di negeri yang melihat orang
berjilbab saja harus menjadi pusat perhatian karena pandangannya seperti
melihat teroris. Langkahnya selalu melibatkan Allah.
Sikap
yang mereka ambil sangat sejalan dengan perintah Allah untuk tetap berjalan di jalan-Nya,
jangan sampai tergoda dengan rayuan-rayuan setan yang akan membelokkan dari
tujuan yang telah diniatkan. Karena sejatinya orang yang membelok adalah mereka
yang berjalan setengah mati tetapi akan tidak sampai pada persimpangan yang diinginkan.
Sebagaimana perkataan Ahli Hikmah yang sering kali diulang-ulang oleh Ustaz Bahtiar
Nawir dalam Majelisnya:
ملتفتنا لا يصل
Orang
yang sering menoleh dalam perjalanan tidak akan pernah sampai pada tujuannya.
Setelah
melangkah dan usaha telah diupayakan maka perkara hasil akan diserahkan kepada Allah.
Karena lagi-lagi, Allah-lah yang memiliki hak dalam persoalan hasil. Di
saat hasil tersebut sesuai dengan keinginan kita, maka bersyukurlah karena keinginan
kita sesuai dengan keinginan Allah. Di saat tidak sesuai, maka itu bagian dari
keberuntungan pula karena yang terjadi keinginan Allah. Hal ini telah
dicontohkan oleh imam Ali karramallahu Wajhah. Kemudian dipertegas lagi
dengan firman Allah:
وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟
شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ
لَّكُمْ ۗ
Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. (Al-Baqarah:216)
Keridaan
terhadap hasil yang Allah tetapkan merupakan suatu keniscayaan yang tidak
dapat dihindari. Hal tersebut merupakan bagian dari perintah Allah. Seorang
muslim harus menerima apa yang diperuntukkan kepadanya baik yang sesuai
keinginannya maupun tidak, Islam memerintahkan agar tidak hanya bagian yang
menguntungkan diri sendiri saja yang diterima akan tetapi semua takdir. Karena
keputusan adalah sesuatu yang di dalamnya terdapat rida Allah, sesuai perkataan
orang-orang Ahli Hikmah, bahwa:
الرضا بما قضاء
الله
Keridaan
itu adalah sesuatu yang menjadi ketetapan Allah
Pada
akhirnya kesinambungan antara niat, usaha, dan hasil serta kepasrahan untuk
menerima hasil adalah sesuatu yang harus berada pada rel yang Allah tentukan.
Menjadi suatu kewajiban yang tidak ada tawar menawar. Justru sebenarnya, suatu keberhasilan
jika hal yang diinginkan, mulai dari niat sampai hasil, dilakukan sesuai dengan
tuntunan Allah. Itulah hakikat dari keberhasilan.
Wallahu
‘Alam




Comments
Post a Comment