Konsep Mutawatir dan Desentralisasi Blockchain

(Source: Pinterest)

Oleh: Muhammad Said Anwar

Dalam Islam, konsep mutawatir menempati posisi krusial. Pasalnya, mutawatir berkonsekuensi aksioma dan menolak kemungkinan keliru. Kendati demikian, posisinya berada di ujung tombak sembari merepresentasikan kebenaran tertinggi. Jelmaannya terdapat pada Al-Qur’an dan hadis mutawatir.

Seluruh aspek persoalan dalam Islam akan ditarik kembali ke satu akar; teologis. Karena jika teologi tidak ada, seluruh persoalan yang tumbuh darinya seperti tafsir, hadis, dan semacamnya, menjadi tidak bernilai. Oleh karena itu, afirmasi teologi merupakan antiseden yang melahirkan konsekuen krusial; sebagai afirmasi lanjutan terhadap kredo lainnya pada ajaran Islam.

Melihat persoalan teologi adalah asas, maka aspek penopangnya harus memiliki epistemologi yang menolak kemungkinan keliru. Epistemologi yang dimaksud adalah konsep mutawatir. Ini banyak digaungkan oleh para teolog Ahlussunnah lintas zaman, salah satunya Syekh Ahmad Thayyib, Grand Syekh Al-Azhar.

Di sisi lain, Islam menjunjung tinggi nilai dan amanah ilmiah. Konsekuensinya, Islam tidak mungkin menolak, apalagi segala hal yang berkaitan dengan nilai ilmiah. Tentu, Islam tidak hanya menjunjung tinggi tanpa adanya implementasi nyata. Basis ontologis dan epistemologis yang dibangun Islam memiliki asas ilmiah yang kuat, tak terkecuali ketika kita menariknya ke dalam konsep mutawatir.

Mutawatir dalam Turâts

Mir Sayyid Syarif Al-Jurjani dalam Syarh Al-Mawâqif, menjelaskan bahwa hal substansial dalam konsep mutawatir adalah mustahilnya perawi bersepakat berdusta atau berkolusi. Begitu juga para ahli hadis, hal yang menjadi inti dari riwayat mutawatir adalah mustahilnya kesepakatan berkolusi itu terjadi, berapa pun jumlahnya. Ini seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hajar Al-Ashqalani dalam Nukhbah Al-Fikr. Masing-masing kedua tokoh tersebut merupakan representasi dari masing-masing kalangan; teologi dan hadis.

Konsekuensi logis dari konstruksi yang dibangun oleh para ahli adalah kemustahilan berkolusi itu tidak bergantung kepada jumlah tertentu. Karena jumlah besar tidak menutup kemungkinan secara teori adanya kemungkinan berkolusi. Misalnya, ada seribu perawi tapi semuanya pembohong. Sebaliknya, walau sedikit, selama kemungkinan kolusi itu tertutup, maka tergolong mutawatir.

Dengan uraian lebih gamblang dan spesifik, mutawatir tidak memandang jumlah, tapi ini tentang sistem regulasi informasi. Dengan adanya sistem tersebut, pintu kemungkinan sepakat untuk berdusta ditutup dengan rapat.

Akan tetapi, klaim mustahil bersepakat berdusta itu mustahil secara realitas. Karena akal masih bisa membayangkan adanya kemungkinan kesepakatan berkolusi itu, kendati itu mustahil menurut realitas. Sesuatu yang di alam nyata dikatakan mustahil, maka mustahil di alam akal. Sedangkan jika mustahil di alam akal, mustahil juga di alam nyata. Jadi, jika dikatakan mustahil sepakat berdusta, itu menurut realitas yang ada.

Di luar konteks ilmu riwayat, menutup kemungkinan adanya kesepakatan berkolusi, sehingga autentikasi informasi yang dibawa terjaga, bukanlah hal mustahil, bahkan itu sangat realistis. Itu bisa kita temukan di bentuk transaksi bitcoin yang menggunakan sistem desentralisasi dalam blockchain.

Untuk memahaminya, kita perlu mengenal blockchain, sistem sentralisasi dan desentralisasi, dan relasinya dengan konsep mutawatir yang secara konseptual tidak ada kemungkinan sepakat berkolusi menurut kebiasaan.

Blockchain

Blockchain meruapakan subset dari DLT (distributed ledger technology). DLT merupakan konsep teknologi yang mengacu pada sistem pencatatan data yang terdistribusi pada banyak node (simpul jaringan), tanpa bergantung kepada otoritas tunggal. Dalam DLT, data disimpan dalam ledger (buku besar) yang dibagikan dan disinkronkan kepada seluruh node. Jika ada yang ingin melakukan perubahan, maka harus ada konsensus dari seluruh node.

Keamanan DLT dirancang memiliki sistem desentralisasi, transparansi, dan immutability (abadi), sehingga kemungkinan manipulasi data ditekan sampai menurut kebiasaan, tidak ada yang bisa melakukan manipulasi data, baik disengaja ataupun tidak.

Kemudian, sistem blockchain hadir sebagai verifikator dengan mengorganisasi data dalam bentuk blok yang disinkronisasikan menggunakan kriptografi satu arah (hash) secara kronologis.

Setiap blok berisi catatan transaksi, waktu, dan yang berkaitan dengan keduanya, kemudian dihubungkan dengan blok berikutnya untuk memastikan imutabilitas data. Namun, jika Anda sulit memahaminya, perhatikan contoh berikut.

Si A meminjam kitab kepada si B. Kemudian, si A mengembalikan kitab tersebut. Si B masih bisa berniat memanipulasi bahwa si A belum mengembalikan kitab yang dipinjamnya. Karena transaksi ini tidak memiliki bukti dan saksi, peluang untuk memanipulasi kebenaran terbuka luas.

Tapi, bagaimana jika ada banyak jaringan yang menyaksikan transaksi itu? Otomatis, jika si B ingin memanipulasi data tersebut, ia akan dikoreksi dengan jaringan yang menyaksikan transaksi itu. Akhirnya, si B tidak bisa berbohong.

Transparansi data itu terjadi karena dilandasi dengan sistem desentralisasi yang memungkinkan seluruh jaringan mengakses data yang sama dan saling verifikasi. Tapi, kita perlu membahas sistem desentralisasi lebih lanjut.

Sentralisasi dan Desentralisasi

Kembali ke transaksi pinjam-meminjam kitab yang dilakukan oleh si A dan si B di atas. Anggap saja ada si C yang menjadi pihak ketiga sebagai saksi yang mencatat dan menyimpan informasi transaksi tersebut. A dan B secara otomatis percaya kepada pihak ketiga. Pihak ketiga ini disebut server. Sistem menjadikan pihak ketiga ini sebagai pusat informasi disebut dengan sentralisasi.

Masalahnya adalah, ketika server ini mengalami hal yang tidak diinginkan, tidak ada acuan atau tempat lain yang dijadikan pegangan terkait catatan informasi transaksi tersebut. Ini dikenal dengan sebutan third problem atau BGP (Byzantium general problem). Maka, solusi dari sistem ini adalah seluruh pihak memiliki catatan yang sama.

Misalnya, ada empat orang memiliki catatan yang berisi “B sudah mengembalikan kitab.” Ketika si B mengaku bahwa ia belum mengembalikan kitab, maka ada empat orang yang langsung mengoreksinya. Begitu juga jika si B lupa atau kehilangan catatan, maka masih ada orang lain dengan catatan yang sama menjadi acuannya. Di sini kita melihat bahwa seluruh pemegang catatan memiliki informasi setara dan tidak ada server yang menjadi titik sentral informasi. Sistem ini disebut desentralisasi.

Sistem desentralisasi ini memiliki tiga ciri:

Semua pihak memiliki catatan yang sama

Catatan tidak disimpan pada satu tempat

Jika ada update, semua pihak tersinkron

Jadi, semakin banyak node yang bergabung pada jaringan ini, maka jaringan itu semakin dipercaya.

Kemudian, sistem desentralisasi ini memiliki cara kerja menggunakan sistem peer to peer (P2P); setiap pihak memiliki peran sama, tidak ada pihak pusat yang mengontrol jaringan, tidak ada client server; tidak ada yang lebih mulia dari yang lainnya. Ketika ada data yang berbeda dengan jaringan, tidak valid. Dan semakin banyak node, semakin terpercaya jaringan tersebut. Untuk melihat mekanisme komputasi blockchain, perhatikan contoh berikut:

Sumber: https://metlabs.io/en/what-is-a-hash-in-blockchain/.

Di gambar tersebut ada tiga blok. Setiap blok itu berisi data. Data itu diubah menjadi kode hash ketika berada dalam blok itu. Sehingga perubahan satu huruf, memperngaruhi perubahan kode. Misalnya, data itu berbunyi “Said” maka hash-nya 0M4l3. Ketika diubah menjadi “Saidun” maka hash-nya 45T4jim. Dan hash ini tidak direkayasa dan tidak diprediksi. Begitu seterusnya.

Kita mulai dari genesis block atau blok awal. Di sana ada data, previous hash, dan hash. Sebut saja hash itu sebagai “kode data” dan previous hash sebagai kode data sebelumnya untuk memudahkan. Ketika kita meletakkan data good morning, ia dikompres menjadi kode 0234ABED4. Kode sebelumnya tidak ada karena awal.

Setelah itu, data tersebut terhubung dengan blok kedua melalui kriptografi satu arah. Blok kedua memiliki data, tapi juga memiliki catatan kode sebelumnya. Catatan itu disesuaikan dengan kode genesis block. Ketika catatannya sama, maka data tersebut valid.

Bagaimana jika ada yang mencoba meretas blok kedua dengan mengubah Thursday menjadi thanos? Maka akan meniscayakan ada perubahan kode. Misalnya, kode awal di blok kedua berbunyi A4CE23847. Kemudian peretas mengubah data menjadi thanos, maka kodenya berubah menjadi B376S9389. Otomatis, ketika blok kedua terhubung dengan blok ketiga, di sana terjadi verifikasi melalui kriptografi satu arah tersebut. Blok ketiga melihat kode B376S9389 sebagai kode yang tidak valid, otomatis kode tersebut dikoreksi menjadi kode asalnya, yaitu A4CE23847.

Kalau kita melihat mekanisme di atas, di sana jelas bahwa satu sama lain jaringan akan saling mengoreksi apabila ada perubahan. Ketika ada orang ingin meretas satu jaringan, maka jaringan itu akan diperbaiki oleh jaringan lainnya. Tapi, langkah paling masuk akal untuk meretas jaringan sehingga tidak ada jaringan yang mengoreksinya adalah meretas seluruh jaringan dalam waktu yang sama. Jelas, menurut kebiasaan ini mustahil. Karena meretas satu jaringan saja membutuhkan waktu, apalagi jika jaringan komputer itu ribuan.

Mutawatir, Blockchain, dan Kepastian Data

Melihat kasus komputasi di atas, kita bisa menarik benang merah bahwa data yang dibawa blok tersebut bukanlah hal yang direkayasa, data tersebut dipegang banyak jaringan, jaringan tersebut saling sinkron, karena data tersebut terdesentralisasi, jaringan satu sama lain transparan, dan seluruh jaringan tersinkron yang menunjukkan immutability atau keabadian data tersebut.

Begitu juga jika kita melihat cara kerja riwayat mutawatir. Misalnya, ada orang yang membuat satu percetakan Al-Qur’an lalu di dalamnya memalsukan satu ayat. Ketika para penghafal membaca naskah Al-Qur’an tersebut, otomatis mereka mengoreksi. Kalau melihat juga hari ini, penghafal Al-Qur’an itu ada jutaan dan mereka saling tahu tentang hafalan tersebut. Dengan kata lain Al-Qur’an itu terdesentralisasi dengan penghafal lainnya. Ujungnya, kebenaran informasi Al-Qur’an itu sifatnya abadi, tidak direkayasa, dan terjaga.

Cara paling mungkin untuk mengubah Al-Qur’an ada dua, kalau bukan membuat seluruh penghafal bersepakat untuk mengoreksi Al-Qur’an, maka itu mengubah ingatan seluruh penghafal Al-Qur’an. Opsi pertama mustahil, karena penghafal Al-Qur’an itu lintas generasi dan daerah. Membuat orang hidup dan wafat bersepakat itu mustahil. Begitu juga mengubah ingatan seluruh penghafal Al-Qur’an sekaligus.

Oleh karena itu, informasi yang disampaikan melalui jalur mutawatir pasti benar, menutup kemungkinan salah, bersifat pasti, dan berada pada tingkatan yakin tertinggi. Seluruh kesimpulan itu berpijak pada mekanisme ilmiah yang berlaku juga pada sistem blockchain, sehingga keamanan informasi terjamin.

Ini juga membuktikan kemukjizatan Al-Qur’an yang termaktub dalam Firman Allah:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Al-Hijr: 9)

Dalam ayat tersebut jika memperhatikan aspek sastranya, ada penegasan dan penguatan tentang penjagaan terhadap Al-Qur’an. Seolah, ayat tersebut ingin mengatakan “Kami sangat serius menjaga Al-Qur’an dan kami tidak bermain-main untuk itu.” Dan Al-Qur’an terjaga melalui sistem yang sangat canggih sejak ribuan tahun lalu, sebelum blockchain, bahkan teknologi itu sendiri terintas di akal orang pada masanya. Seharusnya di masa itu, ide ini pasti berasal dari sesuatu yang luar biasa dan mengetahui segalanya.

Wallahu a’lam


Referensi

Al-Qur’an Al-Karîm

Al-Aqalani, Ahmad bin Ali, Nuzhah Al-Nazar fi Taudhîh Nukhbah Al-Fikr, 2011, Tahkik: Nuruddin ‘Itr, Karachi: Maktabah Al-Busyra.

Al-Bajuri, Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad, Hāsyiyah Al-Bâjȗri ‘ala Syarh Al-Aqâ’id Al-Nasafiyyah, 2020, Tahkik: Anas Muhammad Syarfawi & Hussam Muhammad Yusuf Salih, Damaskus: Dar Al-Taqwa.

Al-Jurjani, Syarif Ali bin Muhammad, Syarh Al-Mawâqif, 2011, Tahkik: Muhammad Abdurrahman Syaghul, Kairo: Al-Maktabah Al-Azhariyyah li Al-Turats.

Jacobetty. P & Johnson. K., Blockchain Imaginaries and Their Metaphors: Organising Principles in Decentralisied Digital Technologies, 2023, Limit. J. Soc. Epistem.

Rahmadika. M, & Rohman. V, Analisis Implementasi Teknologi Blockchain pada Sistem Informasi untuk Meningkatkan Keamanan Data Mahasiswa, 2024, Natl. J. Tech., Vol. 4, No. 2.

Rizapoor. H, Poya. A, & Athari. Z, The Relationship Between Prophetic Hadith and Intellect; A Critical Examination of the Schoolary Discourse, 2023, Int. J. Islam. Stud. High. Educ., Vol. 2, No. 2.

Saad dkk, Critiscism Towards Quranic Text with Mutawatir Status, 2022, Int. J. Acad., Vol. 12, No. 7.

Zhang. R., Xue. R., & Liu. L, Security and Privacy on Blockchain, 2019, Art. Tech, Vol. 52, No. 3.

Zheng. Z, dkk, An Overview of Blockchain Technology; Architecture, Consensuss, and Future Trends, 2017, IEEE International Congress on Big Data (Big Data Congress).

Comments