Maaf telah mati

(Source: Pinterest) 

Oleh: Andi Tenri Mula Uforio

Terinspirasi dari hikmah ke-244 kitab Syarah Hikam Al-Atha’iyyah

 

لولا ميادين النفوس ما تحقق سير السائرين، اذ لا مسافة بينك وبينه حتى تطويها رحلتك، ولا قطعة بينك وبينه حتى تمحوها وصلتك.

“Jika bukan karena syahwat maka tidak akan ada yang berjalan menuju Allah, karena tidak akan ada jarak antara anda dan Allah hingga anda melewatinya dan tidak akan ada keterputusan antara anda dan Allah hingga anda terhubung dan mencapainya.”

 

Terlahir dengan saudara kembar, meski begitu entah siapa yang lebih dulu lahir dari perut ibuku, ia memang terlihat lebih besar, saat berkelahi pun aku lebih banyak kalah darinya. Memiliki saudara semacam ini terlihat menyenangkan, nyatanya sekedar menjalani hidup terasa begitu melelahkan dengan keberadaannya. Tak pernah aku melihatnya diam walau sesaat, membuat orang lain tidak nyaman adalah keahliannya. 

Hari-hari yang hanya diisi dengan pertengkaran siapa yang menang, siapapun tidak akan paham betapa hal semacam ini begitu menyesakkan dada hingga sulit untuk bernafas bebas. Pada akhirnya kisahku dengannya sekilas terlihat seperti film horor si kembar siam. Aku akhirnya mati karenanya. 

Bagaimana aku menjelaskan bahwa aku telah mati dengan hidup, hidup yang hanya berusaha tidak kalah. Merasa hidup dengannya adalah kematian untukku, dunia terasa begitu sesak, aku tak melihat diriku lagi, diri dengan tujuannya diciptakan.

Namun membenci saudara sendiri terdengar seperti seorang penjahat, lalu bagaimana dengan kenyataan bahwa kami memang terlahir sebagai musuh bebuyutan yang akan terus bertanding di atas ring tinju hingga salah satunya mati?

Masih teringat jelas, saat dia membiarkanku terkunci setelah menarikku bermain di gudang tanpa lampu, merusak gambarku dengan gunting, mencuri celengan koin yang sangat kunantikan dan berbagai ingatan kebencian dan dendam tentangnya. Menyadari keberadaanya dalam hidupku adalah sumber malapetaka, aku mengutuk hidupku sendiri. Dalam amarah dan kesedihan aku tenggelam begitu dalam. Melihat diriku kalah, mungkin saja Tuhan lebih menyayangi saudaraku, dan aku seperti tidak ada.

Semua ini tak baik-baik saja, apakah itu hanya pandanganku saja?

Aku telah mati, apakah itu benar-benar kesalahannya? Atau karena aku terlalu lemah menghadapinya?

Dan apakah Tuhan akan membiarkanku mati seperti ini?

Pertanyaan terus mengelilingi setelah kematianku yang sudah terlalu lama. Tak terkecuali pertanyaan dari suara tak bersumber, suatu hari menghampiri kasur kematianku. “Berapa lama lagi kau akan tidur di sini dan terus menggenggam gunting beserta robekan kertas itu, apa kau tak lelah? Lepaskan dan berikan padaku.

Setetes air mata mengalir di pelipisku, dan berikutnya tertahan. Aku ingin mengatakan bahwa aku lelah dan berteriak seperti bayi, aku terkunci namun jari-jariku seperti punya nyawa sendiri, perlahan membuka sembari mengulang setiap ingatan buruk itu, kali ini mengingatnya dengan cara berbeda.

Dengan tangisan yang tertahan ini, satu lagi pertanyaan yang terakhir. Apa aku bisa hidup kembali dari kematian ini? Jika iya inikah cara tuhan agar aku melihatnya? Aku mungkin  akan berterimakasih pada saudaraku dan atas kematian yang ia bawa. 

Oh, sebentar lagi aku akan benar-benar mati, jika tak membuka mata.

 

 

 

 

 

 

 

Comments