ANTARA PENYERAHAN DAN KEPASTIAN: MENGENAL AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT DALAM AL-QURAN

(Source: Pinterest)
Oleh: Muh. Dhafa Ardalopha 

Interpretasi metaforis atau lebih dikenal dengan istilah takwil, bisa dipahami sebagai pengalihan kata dari maknanya yang zahir ke makna yang terkandung di dalam kata tersebut, yang dimana pengalihan itu sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunah, demikian yang termaktub di dalam kitab At-Ta’rifat karya dari Asy-Syarif al-Jurjani. Makna zahir adalah makna lahiriah dari sebuah kata, sedangkan makna kedua atau disebut dengan majas adalah makna lain yang dikandung oleh sebuah kata. makna yang kedua ini digunakan apabila ada qarinah (indikator) yang menghalangi kata tersebut dipahami dengan makna aslinya.

Di dalam Al-Qur’an, ada dua tipikal ayat jika ditilik dari segi penafsiran, yaitu ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Kenyataan ini telah dinyatakan sendiri oleh Allah Swt di dalam surah Ali Imran : 7 sebagai berikut:

“Dia (Tuhan) yang telah menurunkan kepada engkau (Muhammad) Kitab Suci, yang di dalamnya terdapat ayat-ayat muhkamat yang merupakan induk Kitab Suci (umm al-Kitab), dan ayat-ayat lain yang mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya yang terdapat keserongan, mereka akan mengikuti bagian-bagian yang tersamar (mutasyabihat) daripadanya, dengan tujuan membuat fitnah (perpecahan) dan mencari takwil bagian-bagian tersamar itu. Pada hal tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya maka akan menyatakan, 'Kami percaya kepada Kitab Suci itu; semuanya dari sisi Tuhan kami. Dan tidaklah akan dapat merenung (menangkap pesan) kecuali orang-orang yang berpengertian mendalam.”

Dalam tulisannya yang berjudul Masalah Takwil Sebagai Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Nurcholish Madjid menjelaskan definisi kedua jenis ayat tersebut. Ayat muhkamat adalah ayat yang dapat dipahami dengan makna lahiriahnya, karena kejelasan makna yang terkandung di dalamnya. Adapun ayat mutasyabihat adalah ayat yang maknanya samar atau tidak pasti, termasuk dalam tipikal ayat ini ialah problema homonimi (ism musytarak), yaitu satu kata yang ambigu atau bermakna ganda.

Metode takwil adalah sebuah  jalan yang ditempuh oleh para ulama dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat khususnya yang berkaitan dengan sifat Allah Swt dengan tetap menjunjung tinggi kaidah kebahasaan yang ada untuk tetap menjaga keesaan-Nya, baik dari segi zat, sifat, perbuatan serta keesaan beribadah kepada-Nya. Hal ini sebagaimana yang jelas tertera di dalam surah Al-Ikhlas ayat pertama, adapun ayat ketiga dan keempat menunjukkan Allah Swt suci dari keserupaan dengan makhluk.

Guru kami, K.H. Hamzah Ki Baderan pernah memberikan ilustrasi sederhana di salah satu pengajiannya yang berbunyi sebagai berikut: Apabila terjadi kemacetan di jalan poros, maka ada jalan pintas yang dapat ditempuh, keduanya sama-sama jalan yang dapat menyampaikan pada satu tujuan. Metode takwil laksana jalan pintas, apabila ada suatu ayat yang tidak bisa dipahami dengan makna lahiriahnya maka tidak harus berhenti, bisa dengan menempuh jalan yang lain, selagi menyampaikan pada tujuan yang sama.

Pada umumnya ayat-ayat muhkamat berisi perintah, larangan, ancaman, serta janji Allah Swt.  Contohnya pada surah Al-Baqarah : 43 yang artinya “Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama dengan orang yang melakukan rukuk.” Untuk memahami perintah pelaksanakan salat dan penunaian zakat di dalam ayat tersebut cukup dengan melihat  makna lahiriahnya. Di dalam ayat itu ada fi’il amr yang mengandung perintah. Perintah adalah permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang berasal dari pihak yang lebih tinggi ke pihak yang di bawahnya. Jadi salat dan zakat keduanya diperintahkan di dalam Islam.

Sementara ayat-ayat mutasyabihat itu sendiri menurut Nurcholish Madjid, di antaranya berisi problema homonimi atau sederhananya adalah satu kata yang memiliki banyak makna. Seperti di dalam surah al-Fath : 10 yang artinya “Tangan Allah di atas tangan mereka.”

Kata “tangan” di dalam bahasa arab pun memiliki banyak makna. Fairuzabadi, penulis al-Qamus al-Muhith menyebutkan bahwa di antara makna “tangan” ialah anggota tubuh sebagaimana yang dimiliki oleh setiap manusia. Makna lainnya adalah kekuasaan (as-sulthan), kemampuan (al-qudrah), kekuatan (al-quwwah), kepemilikan (al-milk).

Dimana makna-makna ini tetap berkaitan dengan makna yang pertama, karena kekuasaan, kemampuan, kekuatan, dan kepemilikan itu bisa terealisasi dengan adanya tangan. Ketika seseorang menggenggam sebuah pulpen dengan tangannya, maka dia berkuasa penuh terhadap pulpen tersebut, dia bisa melemparnya, menggoyang-goyangkannya, membolak-balikkannya dan seterusnya.

Terlepas dari ayat-ayat muhkamat yang penunjukkan maknanya itu sudah jelas, seringkali terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama ketika berhadapan dengan ayat-ayat mutasyabihat. Di dalam sebuah jurnal yang berjudul Sikap Ulama Terhadap Ayat Mutasyabihat Dalam Al-Quran, membagi sikap ulama ketika dihadapkan dengan ayat-ayat mutasyabihat menjadi 2 mazhab:

1. Mazhab Salaf, atau dikenal juga dengan sebutan mazhab al-mufawwidh, yaitu golongan yang mengimani dan mempercayai ayat-ayat mutasyabihat dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah Swt.  Mereka menyucikan Allah Swt dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi-Nya. Mereka beragumentasi dengan dua dalil;

a) Dalil Aqli, mereka mengatakan bahwa penentuan maksud dari ayat-ayat mutasyabihat itu berlandaskan pada kaidah-kaidah bahasa dan bagaimana orang arab sebagai penutur asli dalam menggunakannya. Kedua hal tersebut bersifat zanni (asumsi), sedangkan keyakinan atas sifat-sifat Allah Swt tidak cukup dengan asumsi, melainkan harus dengan keyakinan. Sementara tidak ada jalan untuk sampai ke derajat yakin tersebut, maka yang bisa dilakukan hanyalah menyerahkan maknanya kepada Allah yang Maha Tahu.

b) Dalil Naqli, diantaranya hadis  dari Aisyah, Abi Malik al-Asy’ari, kakeknya Murdawih, Sulaiman ibn Yasar, dan apa yang diriwayatkan dari Imam Malik.

Namun di antara golongan salaf yaitu orang yang hidup di awal abad ke-3 H, tidak semuanya menggunakan metode tafwidh (menyerahkan maknanya kepada Allah Swt).  Ada beberapa sahabat, bahkan istri Nabi Saw, dan tabi’in yang menggunakan metode takwil, kenyataan ini telah disebutkan oleh Prof. Dr. Rabi’ Jauhari, guru besar Aqidah Filsafat Al-Azhar di dalam bukunya yang berjudul Ta’wil as-Salaf li sifatillah Ta’ala. Sehingga metode ini bukanlah hal yang baru, melainkan sudah muncul sedari awal masa keislaman.

Misalnya di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim di dalam kitabnya Al-Mustadrak dari Sayyidah Aisyah pernah berkata: Rasulullah Saw berkata kepada istri-istrinya: “Di antara kalian yang paling cepat menyusulku (meninggal) adalah yang paling panjang tangannya.” Mendengar ini, para istri Nabi Saw ada yang mengambil sebuah kayu untuk dijadikannya sebagai alat pengukur, kemudian mereka berlomba dan bersaing dalam mengukur siapa yang paling panjang tangannya.

Rupanya yang paling panjang tangannya adalah Sayyidah Saudah binti Zam’ah. Demikianlah yang terjadi sepeninggal Nabi Saw, sampai mereka dikejutkan oleh kenyataan meninggalnya Sayyidah Zainab binti Jahsy (20 H) yang merupakan salah satu istri Nabi Saw yang berperawakan tidak tinggi dan tidak panjang tangan.

Seketika para istri Nabi Saw tersebut mengerti dan paham bahwa yang dimaksud Nabi Saw dalam ungkapannya “yang paling panjang tangannya” adalah yang paling banyak uluran tangannya, bukan makna hakikinya. Sebagaimana pemaknaan ini juga dikuatkan oleh perkataan Sayyidah Aisyah,”Telah pergi orang yang paling tekun beribadah, pelindung anak yatim dan janda.”

 

2. Mazhab khalaf, atau yang dikenal dengan mazhab Al-Muawwil, yaitu golongan yang memegang prinsip takwil dengan berusaha mempekerjakan akal dalam memahami makna kata sesuai dengan hubungannya di dalam kalimat. Di dalam ayat-ayat mutasyabihat yang menyangkut sifat Allah Swt mereka merasa perlu menakwilkannya sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah Swt.

Mereka memaknai istiwa’ dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa lelah. Mereka berkata: “Setiap sifat yang maknanya mustahil bagi Allah Swt ditakwil dengan kelazimannya.” Pendapat ini dinisbatkan kepada Ibn Burhan dan golongan muta’akhkhirin (ulama kontemporer atau yang datang belakangan).

Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu makna yang penunjukan maknanya itu jelas, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung makna yang samar, tidak jelas. Keberadaan ayat muhkamat dan mutasyabihat mengajak manusia untuk memfungsikan akal mereka dan merenungkan apa sebenarnya yang dimaksud oleh Allah Swt daripada kalam-Nya.

Masing-masing dari keduanya membawa hikmah tersendiri, ayat muhkamat dengan maknanya yang jelas memudahkan bagi pembacanya dalam mengetahui makna sehingga mudah untuk diamalkan, tentu dalam memahaminya tidak terlepas dari bantuan perangkat ilmu keislaman yang lain.

Sedangkan ayat mutasyabihat dengan maknanya yang hanya diketahui oleh Allah Swt menurut sebagian golongan membuktikan kelemahan dan keterbatasannya manusia khususnya dalam hal penyingkapan makna. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah Swt dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.



 Editor: Sofiah Najihah S.

 

Comments