ANTARA PENYERAHAN DAN KEPASTIAN: MENGENAL AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT DALAM AL-QURAN
Interpretasi
metaforis atau lebih dikenal dengan istilah takwil, bisa dipahami
sebagai pengalihan kata dari maknanya yang zahir ke makna yang
terkandung di dalam kata tersebut, yang dimana pengalihan itu sejalan dengan Al-Qur’an
dan Sunah, demikian yang termaktub di dalam kitab At-Ta’rifat karya dari
Asy-Syarif al-Jurjani. Makna zahir adalah makna lahiriah dari sebuah
kata, sedangkan makna kedua atau disebut dengan majas adalah makna lain yang
dikandung oleh sebuah kata. makna yang kedua ini digunakan apabila ada qarinah
(indikator) yang menghalangi kata tersebut dipahami dengan makna aslinya.
Di
dalam Al-Qur’an, ada dua tipikal ayat jika ditilik dari segi penafsiran, yaitu
ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Kenyataan ini telah dinyatakan sendiri
oleh Allah Swt di dalam surah Ali Imran : 7 sebagai berikut:
“Dia (Tuhan) yang telah menurunkan kepada engkau (Muhammad) Kitab Suci,
yang di dalamnya terdapat ayat-ayat muhkamat yang merupakan induk Kitab Suci
(umm al-Kitab), dan ayat-ayat lain yang
mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya yang terdapat keserongan,
mereka akan mengikuti bagian-bagian yang tersamar (mutasyabihat) daripadanya,
dengan tujuan membuat fitnah (perpecahan) dan mencari takwil bagian-bagian tersamar
itu. Pada hal tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah. Sedangkan orang-orang
yang mendalam ilmunya maka akan menyatakan, 'Kami percaya kepada Kitab Suci
itu; semuanya dari sisi Tuhan kami. Dan tidaklah akan dapat merenung (menangkap
pesan) kecuali orang-orang yang berpengertian mendalam.”
Dalam
tulisannya yang berjudul Masalah Takwil Sebagai Metodologi Penafsiran Al-Qur’an,
Nurcholish Madjid menjelaskan definisi kedua jenis ayat tersebut. Ayat muhkamat
adalah ayat yang dapat dipahami dengan makna lahiriahnya, karena kejelasan
makna yang terkandung di dalamnya. Adapun ayat mutasyabihat adalah ayat yang
maknanya samar atau tidak pasti, termasuk dalam tipikal ayat ini ialah problema
homonimi (ism musytarak), yaitu satu
kata yang ambigu atau bermakna ganda.
Metode
takwil adalah sebuah jalan yang ditempuh
oleh para ulama dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat khususnya yang berkaitan
dengan sifat Allah Swt dengan tetap menjunjung tinggi kaidah kebahasaan yang
ada untuk tetap menjaga keesaan-Nya, baik dari segi zat, sifat, perbuatan serta
keesaan beribadah kepada-Nya. Hal ini sebagaimana yang jelas tertera di dalam
surah Al-Ikhlas ayat pertama, adapun ayat ketiga dan keempat menunjukkan Allah Swt
suci dari keserupaan dengan makhluk.
Guru
kami, K.H. Hamzah Ki Baderan pernah memberikan ilustrasi sederhana di salah
satu pengajiannya yang berbunyi sebagai berikut: Apabila terjadi kemacetan di
jalan poros, maka ada jalan pintas yang dapat ditempuh, keduanya sama-sama
jalan yang dapat menyampaikan pada satu tujuan. Metode takwil laksana jalan
pintas, apabila ada suatu ayat yang tidak bisa dipahami dengan makna lahiriahnya
maka tidak harus berhenti, bisa dengan menempuh jalan yang lain, selagi
menyampaikan pada tujuan yang sama.
Pada
umumnya ayat-ayat muhkamat berisi perintah, larangan, ancaman, serta janji
Allah Swt. Contohnya pada surah Al-Baqarah
: 43 yang artinya “Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah
bersama dengan orang yang melakukan rukuk.” Untuk memahami perintah
pelaksanakan salat dan penunaian zakat di dalam ayat tersebut cukup dengan
melihat makna lahiriahnya. Di dalam ayat
itu ada fi’il amr yang mengandung perintah. Perintah adalah permintaan
untuk mengerjakan sesuatu yang berasal dari pihak yang lebih tinggi ke pihak
yang di bawahnya. Jadi salat dan zakat keduanya diperintahkan di dalam Islam.
Sementara
ayat-ayat mutasyabihat itu sendiri menurut Nurcholish Madjid, di antaranya berisi
problema homonimi atau sederhananya adalah satu kata yang memiliki banyak
makna. Seperti di dalam surah al-Fath : 10 yang artinya “Tangan Allah di
atas tangan mereka.”
Kata
“tangan” di dalam bahasa arab pun memiliki banyak makna. Fairuzabadi, penulis al-Qamus
al-Muhith menyebutkan bahwa di antara makna “tangan” ialah anggota tubuh
sebagaimana yang dimiliki oleh setiap manusia. Makna lainnya adalah kekuasaan
(as-sulthan), kemampuan (al-qudrah), kekuatan (al-quwwah), kepemilikan
(al-milk).
Dimana
makna-makna ini tetap berkaitan dengan makna yang pertama, karena kekuasaan,
kemampuan, kekuatan, dan kepemilikan itu bisa terealisasi dengan adanya tangan.
Ketika seseorang menggenggam sebuah pulpen dengan tangannya, maka dia berkuasa
penuh terhadap pulpen tersebut, dia bisa melemparnya, menggoyang-goyangkannya, membolak-balikkannya
dan seterusnya.
Terlepas
dari ayat-ayat muhkamat yang penunjukkan maknanya itu sudah jelas, seringkali
terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama ketika berhadapan dengan ayat-ayat
mutasyabihat. Di dalam sebuah jurnal yang berjudul Sikap Ulama Terhadap Ayat
Mutasyabihat Dalam Al-Quran, membagi sikap ulama ketika dihadapkan dengan
ayat-ayat mutasyabihat menjadi 2 mazhab:
1.
Mazhab Salaf, atau dikenal juga dengan sebutan mazhab al-mufawwidh,
yaitu golongan yang mengimani dan mempercayai ayat-ayat mutasyabihat dan
menyerahkan sepenuhnya kepada Allah Swt. Mereka menyucikan Allah Swt dari
pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi-Nya. Mereka beragumentasi dengan
dua dalil;
a)
Dalil Aqli, mereka mengatakan bahwa penentuan maksud dari ayat-ayat
mutasyabihat itu berlandaskan pada kaidah-kaidah bahasa dan bagaimana orang
arab sebagai penutur asli dalam menggunakannya. Kedua hal tersebut bersifat zanni
(asumsi), sedangkan keyakinan atas sifat-sifat Allah Swt tidak cukup dengan
asumsi, melainkan harus dengan keyakinan. Sementara tidak ada jalan untuk
sampai ke derajat yakin tersebut, maka yang bisa dilakukan hanyalah menyerahkan
maknanya kepada Allah yang Maha Tahu.
b)
Dalil Naqli, diantaranya hadis dari Aisyah,
Abi Malik al-Asy’ari, kakeknya Murdawih, Sulaiman ibn Yasar, dan apa yang
diriwayatkan dari Imam Malik.
Namun
di antara golongan salaf yaitu orang yang hidup di awal abad ke-3 H, tidak
semuanya menggunakan metode tafwidh (menyerahkan maknanya kepada Allah
Swt). Ada beberapa sahabat, bahkan istri
Nabi Saw, dan tabi’in yang menggunakan metode takwil, kenyataan ini telah
disebutkan oleh Prof. Dr. Rabi’ Jauhari, guru besar Aqidah Filsafat Al-Azhar di
dalam bukunya yang berjudul Ta’wil as-Salaf li sifatillah Ta’ala. Sehingga
metode ini bukanlah hal yang baru, melainkan sudah muncul sedari awal masa
keislaman.
Misalnya
di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim di dalam kitabnya Al-Mustadrak
dari Sayyidah Aisyah pernah berkata: Rasulullah Saw berkata kepada
istri-istrinya: “Di antara kalian yang paling cepat menyusulku (meninggal)
adalah yang paling panjang tangannya.” Mendengar ini, para istri Nabi Saw
ada yang mengambil sebuah kayu untuk dijadikannya sebagai alat pengukur,
kemudian mereka berlomba dan bersaing dalam mengukur siapa yang paling panjang
tangannya.
Rupanya
yang paling panjang tangannya adalah Sayyidah Saudah binti Zam’ah. Demikianlah
yang terjadi sepeninggal Nabi Saw, sampai mereka dikejutkan oleh kenyataan meninggalnya
Sayyidah Zainab binti Jahsy (20 H) yang merupakan salah satu istri Nabi Saw yang
berperawakan tidak tinggi dan tidak panjang tangan.
Seketika
para istri Nabi Saw tersebut mengerti dan paham bahwa yang dimaksud Nabi Saw
dalam ungkapannya “yang paling panjang tangannya” adalah yang paling banyak
uluran tangannya, bukan makna hakikinya. Sebagaimana pemaknaan ini juga
dikuatkan oleh perkataan Sayyidah Aisyah,”Telah pergi orang yang paling
tekun beribadah, pelindung anak yatim dan janda.”
2.
Mazhab khalaf, atau yang dikenal dengan mazhab Al-Muawwil, yaitu
golongan yang memegang prinsip takwil dengan berusaha mempekerjakan akal dalam
memahami makna kata sesuai dengan hubungannya di dalam kalimat. Di dalam ayat-ayat
mutasyabihat yang menyangkut sifat Allah Swt mereka merasa perlu menakwilkannya
sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah Swt.
Mereka
memaknai istiwa’ dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian
Allah terhadap alam ini tanpa merasa lelah. Mereka berkata: “Setiap sifat yang
maknanya mustahil bagi Allah Swt ditakwil dengan kelazimannya.” Pendapat ini
dinisbatkan kepada Ibn Burhan dan golongan muta’akhkhirin (ulama
kontemporer atau yang datang belakangan).
Muhkam
adalah ayat yang hanya mengandung satu makna yang penunjukan maknanya itu jelas,
sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung makna yang samar, tidak jelas.
Keberadaan ayat muhkamat dan mutasyabihat mengajak manusia untuk memfungsikan
akal mereka dan merenungkan apa sebenarnya yang dimaksud oleh Allah Swt daripada
kalam-Nya.
Masing-masing
dari keduanya membawa hikmah tersendiri, ayat muhkamat dengan maknanya yang
jelas memudahkan bagi pembacanya dalam mengetahui makna sehingga mudah untuk
diamalkan, tentu dalam memahaminya tidak terlepas dari bantuan perangkat ilmu
keislaman yang lain.
Sedangkan ayat mutasyabihat dengan maknanya yang hanya diketahui oleh Allah Swt menurut sebagian golongan membuktikan kelemahan dan keterbatasannya manusia khususnya dalam hal penyingkapan makna. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah Swt dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.




Comments
Post a Comment