FANATISME: KEIMANAN YANG DISALAHPAHAMI, FAKTOR FUNDAMENTAL DARI TERPECAH-BELAHNYA UMAT

 (source: pinterest)

Oleh: Alwiyah

Manusia dikenal sebagai mahluk berakal yang cerdas, bijaksana, dan memiliki empati terhadap sesama. Dengan akalnya, mereka mampu untuk membedakan mana tindakan yang membawa maslahat dan tindakan yang membawa mudarat. Kemampuan inilah yang menjadikan manusia dapat beradaptasi dan survive menghadapi segala tantangan hidup yang menimpanya.

Namun, hal tersebut tidak menjadikan manusia bebas dari kesalahan. Sebab dalam praktiknya, kebijaksanaan tidak selalu sejalan dengan ketepatan bertindak. Ada kalanya niat baik justru melahirkan dampak yang berlawanan. Misalnya, keinginan untuk mewujudkan persatuan dengan memaksa orang lain agar sependapat, justru dapat menimbulkan tindakan impulsif yang berujung pada kerusakan.

Fenomena semacam ini sering  terjadi dalam konteks fanatisme, yakni pandangan berlebihan‒baik positif maupun negatif‒yang tidak berpijak pada fakta. Pandangan tersebut didasari oleh keyakinan  yang begitu kuat sehingga sulit untuk diubah atau diluruskan.

Memiliki keyakinan yang begitu kuat cenderung menumbuhkan dedikasi tinggi, sehingga seseorang siap memberikan rasa cinta dan kerja keras untuk mencapai suatu tujuan. Namun, penting untuk diingat bahwa fanatisme seringkali disertai dengan risiko dan tantangan. Karena fanatisme yang ekstrim dan tanpa batasan dapat mengarah pada hal negatif seperti konflik, kekerasan dan intoleransi.

Dampak negatif tersebut seringkali disebabkan salahnya penafsiran terhadap ideologi yang diyakini. Hal ini ditegaskan oleh Giulianotti (w.2006) yang mengemukakan bahwa fanatisme merupakan rasa cinta manusia yang melekat dengan sebuah kasih sayang dan semangat untuk bertahan, sebaliknya dengan cinta pula manusia dapat berubah menjadi sadis, ambisius, anarkis dan mematikan.

Banyak fenomena yang terjadi di Indonesia,  khususnya dalam kehidupan beragama yang relevan dengan pendapat tersebut. Setiap  penganut agama dianjurkan untuk meyakini ajaran agamanya dengan sungguh-sungguh tanpa keraguan sedikitpun.  Namun meyakini bahwa ajaran yang dianutnya adalah benar, bukan berarti menyalahkan dan mengolok yang lain, apalagi sampai melakukan tindakan anarkis.

Salah satu contoh kasus fanatisme agama di Indonesia adalah yang terjadi di gereja Kristen Kemah Daud Bandar Lampung. Peristiwa itu bermula saat jemaat sedang beribadah, lalu datang beberapa oknum warga setempat menerobos masuk ke dalam gereja. Jemaat yang ada di dalam gereja itu panik dan langsung bubar karena diteriaki warga untuk menghentikan prosesi beribadah.

Hal ini sempat menimbulkan kericuhan dan aksi dorong-mendorong antara warga dan jemaat hingga akhirnya pimpinan jemaat berusaha memediasi kedua pihak. Peristiwa tersebut terjadi karena warga menganggap pihak gereja belum memiliki izin untuk membangun gereja. Namun pihak gereja menjelaskan bahwa mereka sudah membuat izin dari tahun 2014 dan sudah mengikuti prosedur SK Menteri untuk mengajukan permohonan.

Terlepas dari permasalahan izin tersebut. Menerobos masuk ke dalam rumah ibadah suatu agama apalagi ketika sedang melaksanakan ibadah merupakan suatu tindakan intolerantif dan tidak menghormati ritual agama lain. Padahal mengenai perizinan itu sendiri bisa dibicarakan setelah ritual ibadah.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana dampak buruk dari fanatisme, yang kerap disangkutpautkan dengan penerapan keimanan dalam beragama. Padahal, apakah penerapan keimanan dalam beragama merupakan hal yang sama dengan fanatisme?

Perlu dipahami bahwa konsep keimanan itu sendiri berbeda dengan fanatisme, yang mana ia berfokus pada diri dalam bentuk keyakinan yang kuat dan keteguhan hati kepada Tuhan, misalnya beribadah dengan sungguh-sungguh dan menaati segala perintah-Nya.

Hal itu juga harus dibarengi dengan sikap rahmat kepada seluruh manusia baik yang islam maupun bukan, atau biasa kita kenal dengan hablun min Allah wa hablun min an-nâs. Karena sejatinya sikap rahmat dengan menerima perbedaan dan toleransi terhadap agama lain mengantarkan kita pada perdamaian.  

Prof. Quraish Shihab dalam salah satu pernyatannya menegaskan bahwa konsep keimanan menuntut kita untuk berlaku adil, yakni dengan cara berdamai dan menerima perbedaan pendapat khususnya dalam hal keyakinan. Masing-masing dari kita dipersilakan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan oleh agama dan mengakui bahwa itu benar.

Sebagaimana dalam konsep lakum dînukum wa liya dîn, Rasulullah mengajarkan kita untuk selalu bersikap toleran dan menghargai keyakinan agama lain tanpa mengorbankan keyakinan kita. Beliau adalah simbol perdamaian dan selalu menyebarkannya. Oleh karenanya, beliau juga percaya bahwa hakikat ajaran dari semua agama adalah menginginkan perdamaian.

Namun yang perlu diperhatikan, mengakui agama kita benar bukan berarti kita bisa menyalahkan dan memaki agama yang dianut orang lain.  Karena hal itu justru membuka cela bagi mereka untuk kembali memaki agama kita, sehingga menimbulkan konflik dan permusuhan bagi kedua agama.

Dari pernyataan tersebut kita bisa menarik kesimpulan, bahwa keimanan dan fanatisme jelas sangat berbeda. Yang mana keimanan mengantar kita kepada sifat rahmat yang membawa perdamaian, sedangkan fanatisme mengantarkan kita kepada sikap anarkis dan intoleran yang selalu menimbulkan konflik dan terpecah belahnya golongan satu dan yang lain.

Oleh karena itu, setelah menyadari bahwa hakikat dari setiap agama pasti mengarahkan penganutnya kepada hal yang baik dan perdamaian. Jadi sebaiknya kita meneladani sikap rahmat rasulullah dengan menerima perbedaan. Karena perbedaan adalah anugrah yang Tuhan berikan kepada hambanya sebagai bentuk keagungannya. Bukankah dunia lebih berwarna dengan perbedaan itu sendiri?

 

 

 Editor: Nurfadhila

  

 

 

Comments