KONSEP TAKLID: KETAATAN SYARIAT ATAU FANATISME BUTA?
Oleh: Dhiya El Haq Abustani
Pada zaman yang terus berkembang ini, media sosial
menjadi alat komunikasi serta sarana informasi yang begitu luas. Informasi
begitu mudah didapatkan sehingga memudahkan manusia dalam menjalankan
urusannya. Namun, kadang ada hal-hal yang perlu diperhatikan dari sesuatu yang
kita temui di media sosial. Hal yang lumrah ketika kita mengagumi atau menjadi
penggemar seorang tokoh, namun di sisi lain kita perlu memiliki pandangan
objektif terhadap tokoh tersebut. Karena tidak semua apa yang mereka sampaikan
atau yang mereka perbuat dapat dijadikan sebuah contoh tanpa mengetahui apa
dasar akan hal tersebut atau apakah hal tersebut benar atau salah.
Sering kali orang-orang dengan mudahnya mengikuti suatu
tokoh pada hal-hal yang nampaknya perlu pertimbangan atau bahkan tidak pantas
dilakukan. Fenomena ini dapat dikatakan sebagai fanatisme atau taklid buta.
Dalam Islam sebenarnya taklid itu boleh, namun pada hal-hal yang memang di
dalamnya kita tidak memiliki kapasitas, sehingga harus mengikuti pendapat suatu
tokoh atau mazhab yang secara jelas memiliki basis argumen dan metodologi
Persoalan antara ketaatan terhadap syariat dan taklid
atau fanatisme ini sering kali dikaitkan dengan kalangan awam yang tidak
memiliki pengetahuan memadai mengenai hukum-hukum syariat. Di antara berbagai
disiplin ilmu dalam Islam, usul fikih memiliki peran penting dalam proses
pengambilan hukum syarak, sekaligus menjadi ilmu yang mulia karena
menggabungkan antara pendekatan ‘aqli (rasional) dan naqli (tekstual),
sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa.
Oleh karena itu, usul fikih berfungsi sebagai dasar
kaidah-kaidah kulliyyah (umum) yang kemudian dijabarkan secara lebih
rinci dalam ilmu fikih. Secara terminologis, fikih adalah ilmu yang membahas
secara detail hukum-hukum islam yang berkaitan dengan perbuatan seorang
mukalaf, berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran, sunah, ijmak, dan qiyas.
Adapun usul fikih secara terminologis adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah
umum, tata cara pengambilan hukum, serta syarat-syarat yang berkaitan dengan
seorang mujtahid. Tulisan ini bermaksud untuk menjelaskan tentang apa itu taklid,
dan hal yang berkaitan dengannya. Sehingga kita mengetahui posisi taklid yang
sebenarnya dan tidak termakan doktrin yang bisa menjerumuskan kepada kemudaratan
A. Definisi Taklid
Taklid secara etimologis, adalah masdar dari kata qallada (قلّد) yaitu menggantungkan sesuatu pada lehernya.
Sebagaimana Allah berfirman ”ولا
الهدى ولا القلآئد”,
yaitu unta yang dililit olehnya tali guna menuntunnya dalam perjalanan. Adapun
makna majasi, penggunaan kata tali yang dililit pada leher unta adalah sebuah
kalimat yang diserupai kepada orang yang menggantungkan suatu perkara ke dalam
dirinya.
Adapun secara terminologi, mengambil pendapat suatu imam
atau mazhab tanpa sepengetahuan orang yang bertaklid dan mengerjakan sesuai
pendapat imam yang ia ikuti. Bagi orang
awam, taklid sering kali menjadi pilihan yang tidak terelakkan. Allah
berfirman:
(Q.S An-Nahl: 43) "فاسألوا أهل
الذكر ان كنتم لا تعلمن"
Ayat ini
menunjukkan legitimasi bagi orang yang tidak mampu berijtihad untuk merujuk
kepada ulama yang ahli. Imam an-Nawawi menegaskan dalam al-Majmu’ bahwa
orang awam wajib bertaklid kepada mujtahid, karena mustahil semua orang dapat
mendalami hukum-hukum syariat secara langsung. Dengan demikian, taklid dalam batas tertentu
merupakan kebutuhan nyata umat Islam.
B. Urgensi Taklid
dalam Kehidupan Masyarakat
Dalam kehidupan sehari-hari, mayoritas umat Islam menghadapi
persoalan hukum syariat yang tidak dapat mereka pahami secara mandiri. Petani
yang hendak menunaikan salat Id, ibu rumah tangga yang ingin mengetahui zakat
emas, atau jemaah masjid yang mengikuti tata cara wudu imam setempat semuanya
adalah bentuk taklid praktis. Mereka tidak memiliki kemampuan ijtihad, tetapi
tetap memerlukan bimbingan dalam beragama. Dalam konteks ini, taklid yang
dilakukan menjadi bagian dari ketaatan syariat, selama yang diikuti adalah
ulama yang terpercaya.
C. Hukum Taklid
Pada pembahasan ini, hukum taklid terbagi menjadi dua macam:
1. Hukum Taklid pada Permasalahan Akidah
Dalam permasalahan akidah, ulama terbagi menjadi tiga kelompok:
- Pendapat mayoritas ulama, tidak bolehnya seseorang untuk bertaklid dalam akidah secara mutlak.
- Sebagian ahlul hadis mengatakan bahwa, wajib baginya untuk bertaklid dan haram untuk mencari lebih dalam pada permasalahan ini.
- Imam Ar-Razi dan sebagian ulama dari Mazhab Syafii membolehkan seseorang untuk bertaklid, cukup dengan meyakini.
2. Hukum Taqlid dalam permasalahan fikih
Dalam permasalahan fikih, ulama terbagi menjadi lima pendapat:
- Bahwasanya, wajib baginya untuk bertaklid bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan dalam ijtihad
- Wajib untuk berijtihad secara mutlak, dan tidak diperbolehkan untuk bertaklid. Maka lazim kepada seluruh individu dari setiap mukalaf untuk berijtihad kepada dirinya sendiri, pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Zahiriyyah, Muktazilah Baghdad. Maka inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy-Syaukani
- Tidak diperbolehkan baginya untuk berijtihad, adapun taklid itu menjadi wajib setelah masa imam-imam mujtahid. Pendapat ini diklaim oleh mayoritas dari pengikut mazhab empat, dan sebagian dari penganut mazhab Hasyawiyyah
- Taklid dibolehkan pada masalah-masalah ijtihadiyah (hukum yang diambil dari dalil zhanni) berbanding terbalik dengan hukum mansus (hukum yang di ambil dari dalil qath’i). Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Ali al-Jubba’i
- Bahwasanya taklid tidak diperkenankan kepada orang-orang yang sudah memiliki ilmu dalam berijtihad. Begitu pula kepada orang-orang awam yang belum sampai ke derajat mujtahid
D. Peran Usul Fikih dalam Menyikapi Taklid
Ilmu usul fikih memiliki peran sentral dalam membingkai persoalan taklid.
Ilmu ini membahas kaidah-kaidah umum dalam penetapan hukum, tata cara
pengambilan dalil, serta syarat-syarat seorang mujtahid. Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa
menegaskan bahwa usul fikih adalah ilmu yang mulia, karena menggabungkan
pendekatan rasional (‘aqli) dan tekstual (naqli).
Dengan adanya kerangka usul fikih, umat dapat memahami batas-batas taklid:
- Awam boleh bertaklid kepada ulama terpercaya.
- Mujtahid wajib berijtihad berdasarkan kaidah usul.
- Fanatisme buta ditolak karena bertentangan dengan maqashid
syariah.
E. Contoh Kasus dan Dampak yang Dihasilkan oleh Taklid Buta
1.
Kasus
Kelompok Ajaran Sesat (GAFATAR) dan Fanatisme terhadap Suatu Tokoh (Mama
Ghufron)
- Gerakan
Fajar Nusantara atau yang biasa dikenal sebagai (GAFATAR) dan pemimpin
seperti Mama Ghufron serta Syekh Aswad menjalankan ajaran dan klaim
spiritual tanpa basis syariat yang valid. Banyak pengikut yang
mengikutinya secara membabi buta, tanpa verifikasi dalil atau pengetahuan
agama yang memadai.
Dampak:
- Muncul ketegangan sosial dan potensi penyimpangan akidah.
- Menyebabkan kerugian emosional dan spiritual bagi pengikut yang
kemudian menyadari ketiadaan dasar syariat.
2. Kasus Pondok
Pesantren Az-Zaytun Indramayu yang dipimpin oleh Panji Gumilang
- Pondok Pesantren Az-Zaytun Indramayu, di bawah pimpinan Panji
Gumilang, menjalankan berbagai praktik ibadah dan klaim keagamaan yang
menyimpang dari syariat Islam yang berlaku umum. Di antaranya adalah salat
Id dengan saf campur laki-laki dan perempuan, penggunaan salam lintas
agama, serta menisbahkan diri pada “mazhab Soekarno” yang tidak memiliki
dasar fikih yang jelas. Banyak pengikut dan santri menerima ajaran
tersebut secara membabi buta, tanpa verifikasi dalil atau pemahaman
mendalam terhadap ajaran Islam yang sahih.
Dampak:
- Muncul stagnasi pemikiran dan kebingungan umat dalam memahami syariat Islam.
- Terjadi krisis akuntabilitas serta menurunnya kepercayaan publik terhadap pesantren.
- Timbul potensi penyimpangan akidah melalui ajaran-ajaran yang tidak berdasar dalil syar‘i.
F. Kesimpulan
Fenomena taklid
merupakan realitas yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan umat Islam,
khususnya bagi kalangan awam yang tidak memiliki kapasitas ijtihad. Dalam batas
tertentu, taklid adalah bentuk ketaatan terhadap syariat, sebagaimana
diperintahkan Allah dalam firman-Nya untuk bertanya kepada ahl al-dzikr
ketika tidak mengetahui. Namun, taklid tidak boleh berubah menjadi fanatisme
buta yang menutup ruang kritik dan mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran.
Melalui ilmu usul fikh,
umat Islam diberikan kerangka berpikir yang seimbang:
- Awam diperbolehkan bertaklid
kepada ulama yang terpercaya.
- Mujtahid wajib berijtihad dan
tidak boleh sekadar mengikuti tanpa dasar.
- Fanatisme buta ditolak, karena
dapat membawa pada kesesatan dan penyimpangan dari maqashid syariah.
Kasus-kasus seperti
GAFATAR maupun penyimpangan di Az-Zaytun menunjukkan bahaya taklid buta yang
hanya berlandaskan pada karisma tokoh tanpa verifikasi dalil. Dampak yang
ditimbulkan tidak hanya merusak akidah, tetapi juga menimbulkan kegaduhan
sosial dan kerugian spiritual.
Dengan demikian,
sikap yang tepat adalah menjadikan taklid sebagai sarana ketaatan
syariat—selama mengikuti ulama yang berlandaskan dalil dan metodologi yang
sahih—serta menolak bentuk fanatisme yang menjerumuskan pada penyimpangan.
Keseimbangan antara penghormatan kepada ulama dan sikap kritis yang berlandaskan
ilmu menjadi kunci agar umat Islam tetap terjaga dalam koridor syariat.
Editor: Fairus




Comments
Post a Comment