Postmodernisme: Suara dari Puing-Puing Modernitas

(Source: Pinterest)

Oleh: Sajid Dzaky Mubarok

Dalam kehidupan di dunia ini, manusia senantiasa dihadapkan pada berbagai tantangan dan persoalan yang memaksanya untuk terus melakukan perubahan dan penyesuaian diri dengan keadaan. Perubahan tersebut tidak hanya terjadi pada aspek teknologi dan sosial, tetapi juga pada cara pandang, nilai, dan pemahaman manusia tentang kebenaran serta realitas.

Pada paruh pertama abad ke-20, umat manusia mengalami dua peristiwa besar, Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang tidak hanya memusnahkan infrastuktur tapi juga merobohkan keyakinan umat manusia terhadap proyek kemajuan modernitas. Rasio dan ilmu pengetahuan, yang dalam pandangan modernisme diyakini sebagai alat utama dan penyelamat peradaban, justru menjadi salah satu pemicu lahirnya peperangan dan senjata pemusnah massal. Menyebabkan terjadinya gelombang depresi kultural, kepercayaan orang-orang terhadap rasio dan ilmu pengetahuan mulai runtuh karena dianggap telah gagal membawa dunia menuju kesejahteraan.

Kekecewaan ini membuka jalan bagi paradigma baru yang kita kenal sekarang sebagai post-modernisme. Pola pikir yang muncul sebagai respons atas kegagalan paham ini dalam memenuhi janji-janjinya akan kemajuan dan keteraturan dunia. Sebaliknya, modernisme dianggap sebagai perusak tatanan kehidupan masyarakat, pemikiran ini justru menciptakan masyarakat yang terlalu individualistik, memperlebar jurang antara yang kaya dan miskin, orang pintar mengeksploitasi yang kurang berpengetahuan, serta dominasi negara kuat atas negara yang lemah. Hal ini di jelaskan oleh Muhammad Nur Alam Tejo dalam tulisannya selayang pandang post-modernisme.

Salah satu tokoh yang dianggap menjadi tokoh kunci dalam kelahiran post-modernisme adalah Jean-François Lyotard, ia dianggap orang yang pertama kali mempopulerkan terminologi ini melalui karyanya yang berjudul The Postmodern Condition: A Report and Knowledge (1984).  Ia mengkritik modernisme yang terlalu bergantung pada grand narrative (cerita-cerita besar), satu narasi besar yang mengklaim dirinya mampu menyelesaikan permasalahan secara total dan universal, seperti rasionalitas pencerahan, dialektika hegel, emansipasi Marx, dan kemajuan ilmu pengetahuan. Mereka semua mencoba menjadi dasar tunggal yang menjelaskan kemana arah sejarah juga apa yang dianggap sah sebagai ilmu pengetahuan.

Lyotard menilai narasi-narasi yang dibawa oleh modernisme ini sudah tidak lagi relevan dengan realitas sekarang yang jauh lebih kompleks. Dimana narasi-narasi yang dibawa oleh modernisme justru mengikis kemanusian dari diri manusia sendiri, menciptakan materialisme dan konsumerisme yang mengakibatkan degradasi lingkungan yang tak terkendali juga melemahnya gairah dan nilai masyarakat.

Oleh sebab itu Lyotard memperkenalkan konsep paralogi atau prulalitas, dimana realitas ini  tidak bisa dibatasi dengan satu kebenaran tunggal. Sebaliknya, realitas ini tidak pernah terlepas dari keberagaman dan pertentangan yang harus dihargai dan diterima, bukan dihapuskan oleh narasi besar.

Lyotard menegaskan bahwa tiap pengetahuan beroperasi dalam permainan bahasanya masing-masing. Bahkan, kebenaran dibentuk oleh penilaian seseorang sesuai dengan bahasa yang ia gunakan. Dari sini kita dapat simpulkan bahwa Lyotard memandang kebenaran sebagai sesuatu yang tidak pernah objektif, ia selalu hasil dari tafsiran seseorang, yang menyebabkannya sukar untuk dipastikan kebenarannya secara absolut. Oleh karena itu Lyotard menolak klaim kebenaran tunggal dan universal yang selalu digaungkan oleh modernisme.

Pemikiran Lyotard ini memiliki kaitan yang erat dengan Jacques Derrida, tokoh lain yang ikut terlibat dalam perkembangan postmodernisme. Turiman menjelaskan dalam tulisannya yang berjudul Metode Semiotika Jacques Derrida Membongkar Gambar Lambang Negara Indonesia, bahwa Derrida beranggapan kita tidak bisa membatasi kebenaran sebagai sesuatu yang tunggal, umum, dan universal. Menurutnya kebenaran itu bersifat relatif, partikular, dan plural. Dari anggapan inilah lahir gagasan yang kuncinya adalah dekonstruksi.

Dekonstruksi merupakan tipikal pemikiran yang bisa dibilang cukup fleksibel. Fleksibilitas penerapannya juga menjadikan pemikiran  ini seringkali dianggap bukan teknik kritik ataupun metode tafsir. Deridda sendiri tidak pernah mendefinisikan dekonstruksinya, karena ketika didefinisikan dia akan menjadi suatu metode yang baku.

Meskipun begitu, Fahrudin Faiz menjelaskan bahwa dekonstruksi terdiri dari dua konsep,  yaitu description dan transformation; yaitu menggambarkan maksud teks sekaligus mengubah dan mengembangkannya dalam makna baru. Secara umum dekonstruksi adalah sebuah strategi analisis yang dilakukan untuk membuka pengandaian-pengandaian metafisis yang sebelumnya tidak pernah dipertanyakan.

Alasan Derrida mengajukan dekonstruksi ini karena ia mengkritik tradisi filsafat barat yang terjebak dalam metafisika kehadiran yang berlandaskan prinsip identitas Aristoteles, yaitu metafisika yang menganggap identitas itu tetap dan kaku, sehingga mengabaikan keberagaman. Dari sini lahirlah logosentrisme, yang meletakkan rasio sebagai pusat kebenaran sekaligus mempertahankan oposisi biner seperti pria-wanita, akal-indra, jiwa-tubuh yang melahirkan hirarki dan sub-ordinasi.   

Dekonstruksi hadir untuk membongkar struktur oposisi ini, menunjukkan bahwa makna tidak pernah final melainkan tertunda (différance). Serta membuka ruang bagi keragaman, ambiguitas, dan perbedaan yang selama ini ditekan oleh klaim kepastian filsafat barat. Hal ini sejalan dengan konsep paralogi atau prulalitas yang diajukan Lyotard yang menolak adanya kebenaran tunggal yang dapat merepresentasikan keseluruhan realitas, sebagai respon terhadap kekurangan modernisme.

Post-modernisme yang menolak adanya kebenaran tunggal,  mendorong penerimaan dan pengakuan terhadap keberagaman perspektif, budaya, dan identitas. Akibatnya orang-orang tidak lagi memandang perbedaan sebagai suatu hal yang aneh atau inferior, karena hilangnya dominasi satu perspektif atas perspektif yang lain dalam pola pikir seseorang. Hal ini juga meningkatkan ruang dialog dan toleransi di setiap kalangan masyarakat.

Fleksibilitas postmodernisme dalam menghadapi keragaman budaya juga membantu pengelolaan sumber daya manusia di era globalisasi. Sebuah keadaan dimana dunia saling terhubung lewat teknologi komunikasi, membuat batas-batas budaya, pola pikir dan gaya hidup menjadi semakin kabur karena bercampur dengan negara lain. Juga konsep lama tentang individu sebagai subjek tunggal mulai ditinggalkan digantikan dengan konsep individu yang lebih cair. Dalam hal ini, pola pikir post-modernisme memudahkan individu untuk beradaptasi  dengan perubahan yang cepat, bekerja dalam lingkungan multikurtural, juga menghargai keragaman.

Prinsip post-modernisme juga memberikan pengaruhnya pada bidang pendidikan di Indonesia, hal ini tercermin pada kurikulum 2013 (K13) yang menekankan keterlibatan siswa dalam membentuk pemahamannya sendiri. Siswa tidak lagi hanya duduk diam menerima materi tetapi juga dituntut untuk mengamati, menanya, menalar, mencoba, hingga mencipta (5M). Guru tidak lagi dijadikan otoritas tunggal dalam pencarian ilmu pengetahuan, yang menjadikan pembelajaran lebih dialogis dan partisipatif.

Selain itu post-modernisme yang menekankan kepada pluralitas dan keragaman juga tercermin pada fleksibilitas kurikulum 2013 (K13). Kurikulum ini tidak hanya berfokus pada kemampuan kognitif, tetapi juga berfokus pada aspek efektif (sikap,karakter) dan psikomotorik (keterampilan), sehingga pembelajaran tidak hanya menekankan kepada kecerdasan akademik saja. Kurikulum 2013 (K13)  juga memberikan kelonggaran bagi setiap daerah untuk menyesuaikan dengan keadaan sosial, sekolah, dan kebutuhan siswa. Ini sejalan dengan postmodernisme yang menolak adanya kebenaran universal dan lebih mengutamakan keanekaragaman perspektif.

Demikian post-modernisme merupakan respon atas kegagalan modernisme dalam memenuhi janji-janjinya akan kesejahteraan dan penyelamat peradaban. Ditandai dengan runtuhnya keyakinan umat manusia terhadap narasi besar pasca perang dunia I dan II juga terciptanya senjata pemusnah massal.

Ia bukan sekedar kritik atas modernisme, post-modernisme juga memberikan cara pandang baru dalam menyelesaikan problematika kehidupan. Melalui Jean-François Lyotard yang menekankan kepada pluralitas kebenaran juga penolakan terhadap otoritas tunggal, serta Jacques Derrida dengan dekonstruksinya yang membuka ruang keberagaman makna dan perspektif, hal ini mendorong masyarakat untuk memiliki sikap toleransi dan menghargai keberagaman budaya, identitas dan perspektif, juga memudahkan masyarakat untuk beradaptasi dengan era globalisasi.



Editor: Andi Tenri Mula U.

Comments