Redefinisi Paham Pernyataan Ibn Rusyd Perihal Elitisme dalam Agama
Dalam beragama, setiap individu memiliki hak yang sama untuk mengetahui sebuah kebenaran. Hal ini bertujuan untuk mencapai kebahagiaan ataupun ketenangan batin dalam berkehidupan, dan hal tersebut berhak dirasakan oleh manusia dari kalangan manapun.
Sayangnya, dalam implementasinya idealisme ini memiliki banyak tantangan, salah satunya adalah konsep pemikiran Ibn Rusyd dalam membagi manusia menjadi kaum khawas dan kaum ‘awwam. Dari pengelompokan tersebut, secara tidak langsung melahirkan metode elitisme dalam kehidupan beragama.
Elitisme adalah keyakinan atau gagasan bahwa individu yang membentuk sebuah elit – sekelompok orang yang terpilih yang digambarkan memiliki kualitas intrinsik, kecerdasan tinggi, kekayaan, keterampilan khusus, atau pengalaman – lebih cenderung konstruktif bagi masyarakat secara keseluruhan, dan karenanya berhak mendapatkan pengaruh atau otoritas yang lebih besar dari orang lain.
Dalam perspektif Ibn Rusyd, konsep elitisme tidak merujuk kepada perbedaan kasta, derajat ataupun status sosial lainnya, melainkan lebih mengarah kepada kemampuan akal manusia untuk mengetahui kebenaran dalam agama. Ia menyebut kaum khawas sebagai kelompok elit yang mampu memahami kebenaran melalui pendekatan filsafat dan kemampuan akal, sedangkan kaum ‘awwam sebagai kelompok yang memahami agama melalui simbol dan literatur teks agama secara zahir..
Lebih lanjut, menurut Ibn Rusyd, filsafat merupakan alat untuk mengetahui kebenaran makna agama secara mendalam. Kelompok elit menggunakan akal untuk menyingkap makna yang tersirat di balik simbol-simbol agama. Sedangkan kelompok awam, yang tidak berkompeten dalam filsafat akan kesulitan untuk mencari sebuah kebenaran dalam agama. Dalam hal ini, baik kelompok elit maupun awam sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari kebenaran agar meraih ketenangan batiniah, meskipun dengan metode yang berbeda.
Elitisme agama seringkali menciptakan rasa eksklusivitas, kelompok atau individu yang merasa elitis memisahkan diri dari komunitas agama yang lebih luas, merasa bahwa mereka adalah bagian dari kelompok yang lebih terpilih atau benar. Kaum elit juga mengklaim bahwa mereka telah mencapai tingkat penyempurnaan spiritual yang lebih tinggi dan telah melalui pengalaman keagamaan yang lebih mendalam.
Berbeda halnya dengan kaum inferior, sebagian dari mereka justru lebih tertutup dan memilih untuk tidak ikut serta dalam menyampaikan pendapatnya. Walaupun, banyak juga dari kalangan mereka yang ingin menyuarakan pendapatnya akan tetapi terhambat oleh perasaan yang mengatakan bahwa mereka tidak pantas. Namun apakah konsep elitisme ini benar-benar tejadi secara fenomena? Lalu apakah legalitas sebuah kebenaran dalam agama dikhususkan pada kalangan-kalangan tertentu?
Nurcholish Madjid atau akrab dipanggil Cak Nur, mengafirmasi adanya fenomena elitisme dalam agama, karena kenyataan dalam masyarakat menunjukkan adanya orang-orang tertentu yang jumlahnya tidak banyak, yang sanggup memahami kebenaran-kebenaran hakiki melalui pendekatan filsafat. Meskipun hal itu terjadi, Cak Nur tetap menolak pandangan bahwa hanya satu kelompok atau aliran agama yang memiliki kebenaran mutlak. Ia berpendapat bahwa klaim semacam ini dapat memicu intoleransi dan konflik.
Hal ini senada dengan fenomena yang terjadi dalam agama Islam. Agama ini memberikan kebebasan kepada seluruh umatnya untuk berijtihad dalam mencari kebenaran. Terdapat dalam ayat-ayat Al-Quran ataupun hadis-hadis Nabi Saw yang mengatakan bahwa para mujtahid (seseorang yang menggunakan analisis dan penalaran rasional dalam menyelesaikan persoalan hukum) akan mendapatkan pahala. Dengan kata lain, siapapun mereka memiliki kebebasan untuk mencoba dalam mencari kebenaran dan tetap akan mendapatkan apresiasi.
Khaled Abou El-Fadl mengatakan bahwa dari gagasan tersebut mempertegas sebagai bagian dari etos Islam dalam menolak elitisme dan menekankan bahwa kebenaran bisa dicapai oleh semua orang Islam tanpa memandang ras, kelas, ataupun status sosial.
Pandangan ini pun secara tak langsung membawa kita kepada perspektif baru dari pemahaman terhadap Ibn Rusyd. Meskipun dikenal sebagai salah satu yang memelopori pandangan elitisme ini dengan membagi masyarakat menjadi kaum khawas dan kaum ‘awwam, akan tetapi ia berpandangan bahwa sebenarnya tidak ada elitisme dalam agama.
Ibn Rusyd tidak membedakan antara orang yang berfilsafat dan mereka yang tidak dalam hal mencari sebuah kebenaran. Di samping semua hasil observasi tersebut, ia percaya bahwa setiap individu memiliki potensi untuk mengetahui kebenaran agama dengan caranya masing masing. Hanya saja Ibn Rusyd ingin menegaskan bahwa peran logika sangat penting sebagai dasar penilaian terhadap suatu kebenaran.
Ibn Rusyd merupakan sosok filsuf yang lebih mengutamakan akal dibanding perasaan. Menurutnya, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan agama harus dituntaskan pula dengan akal atau logika. Walaupun demikian, Ibn Rusyd mengakui ada titik kelemahan berpikir secara logika, misalnya ketika membahas terkait hal-hal yang bersifat ghaib, maka jangkauan akal akan sangat terbatas sehingga tidak dapat membuktikannya dan dianggap sebagai sesuatu yang lemah pembuktiannya.
Dari pembahasan diatas, kita memahami bahwa elitisme dalam agama memang terjadi secara fenomena yang muncul melalui perspektif manusia. Hal ini dibuktikan oleh adanya beberapa kelompok yang mampu menemukan kebenaran hakiki dengan bantuan akalnya. Walaupun dari setiap kalangan manusia memiliki hak yang sama dalam mengetahui sebuah kebenaran, namun tetap ada yang menjadi pembeda di antara mereka. Kaum elit yang mencari kebenaran melalui pendekatan filsafat jauh lebih baik daripada mereka yang mengetahui sesuatu hanya melalui teks agama secara zahir.
Pada dasarnya, setiap individu memiliki hak yang sama dalam mengetahui sebuah kebenaran dalam agama. Metode yang dilakukan oleh Ibn Rusyd yang membagi masyarakat menjadi dua kelompok hanya sebagai pemisah antara kaum elit dan kaum inferior. Akan tetapi ia tetap mempercayai bahwa setiap manusia dari kalangan manapun memiliki potensi untuk mengetahui sebuah kebenaran. Hanya saja, Ibn Rusyd ingin menegaskan bahwa logika atau filsafat memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam mengungkap kebenaran-kebenaran dalam agama melalui literatur agama itu sendiri.
Editor: Andi Tenri Mula U.




Comments
Post a Comment