Relevansi Asbabunnuzul Terhadap Regulasi Zaman dan Peristiwa
Oleh: Nurfadhila Amalia Sam
Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam yang berisi ayat-ayat sebagai pedoman manusia di muka bumi ini. Turunnya ayat-ayat tersebut disebabkan oleh kejadian atau berita yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah Saw. Dari kejadian-kejadian tersebut, turunlah beberapa ayat maupun satu surah sekaligus. Hal ini diistilahkan dalam bahasa arab dengan asbabunnuzul.
Dalam kitab Al-Madkhal li Dirasat Al-Qur’an Al-Karim karya Muhammad Abu Syuhbah, Sabab An-nuzul adalah sebuah peristiwa atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Saw yang melatarbelakangi turunnya sebuah ayat sebagai penjelasan dari peristiwa atau jawaban dari pertanyaan sebelumnya.
Diantara contoh asbabunnuzul seperti yang dijelaskan oleh Nurcholish Madjid dalam bukunya yang berjudul Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah adalah surah Al-Lahab, yang turun terkait dengan salah satu tokoh kafir Quraisy sekaligus paman Nabi Muhammad Saw yang bernama Abu Lahab, beserta istrinya. Contoh lainnya pada permulaaan ayat pertama surah Al-Anfal:
یَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَنفَالِۖ قُلِ ٱلۡأَنفَالُ لِلَّهِ وَٱلرَّسُولِۖ فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَأَصۡلِحُوا۟ ذَاتَ بَیۡنِكُمۡۖ وَأَطِیعُوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥۤ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِینَ
Ayat tersebut turun untuk memberikan petunjuk atau penjelasan, kepada Nabi mengenai perkara yang ditanyakan tentang pembagian harta rampasan perang.
Pengetahuan tentang asbabunnuzul merupakan hal penting yang berfungsi untuk memahami konteks diturunkannya wahyu tersebut yang membawa pada penafsiran ayat sesuai dengan situasi yang berbeda-beda. Ibnu Hajar Al-asqolani dalam kitabnya al-Ujab fii Bayan al-Asbab menjelaskan bahwa salah satu faidah mengetahui asbabunnuzul adalah memahami makna ayat dengan benar sehingga jauh dari makna ambigu. Hal ini diperkuat dengan perkataan imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Muqaddimah at-Tafsir bahwa, mengetahui asbabunnuzul membantu memahami sebuah ayat, karena memahami sebabnya mengantarkan kepada pemahaman akibatnya.
Konsep asbabunnuzul sendiri menunjukkan banyaknya ajaran agama Islam berkaitan dengan peristiwa nyata pada zaman Nabi Muhammad Saw. Yang kemudian nilai dari sebuah peristiwa tersebut ditarik dari dataran generalitas sehingga tidak lagi terikat oleh kekhususan peristiwa asalnya.
“Al-ibratu bi umum al-lafdzi, Laa bi khushush as-sababi”
Atau, pengambilan makna berdasarkan keumuman lafaz, bukan berdasarkan kekhususan sebab.
Contohnya adalah, surah Al-Baqarah ayat 196 tentang membayar hadd dalam pelaksanaan haji dan umrah:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِیضًا أَوۡ بِهِۦۤ أَذࣰى مِّن رَّأۡسِهِۦ فَفِدۡیَةࣱ
Artinya : “Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepala, maka dia wajib membayar fidyah”. Ayat tersebut turun kepada seorang sahabat Ka’ab bin Ujrah. Tapi dengan menggunakan kaidah tersebut, maka ayat itu menjadi umum sehingga mencakup kepada siapapun yang memiliki masalah yang serupa.
Namun muncul pertanyaan, bagaimana hukum terhadap satu peristiwa yang telah lalu bisa menjadi hukum bagi peristiwa lain yang sedikit ada variabel yang berbeda?
Para ahli fikih menjawab dengan kaidah “Taghayyur al-ahkam bi-taghayyur Az-zaman wa al-makan” (perubahan hukum itu disebabkan karena perubahan waktu dan tempat). Hal ini sejalan dengan pendapat Syekh Ali Jum’ah dalam kitabnya Waqala al-imam bahwasannya, hukum itu berubah disebabkan karena empat hal yaitu waktu, tempat, keadaan dan orangnya.
Contohnya pada peristiwa setelah perceraian Zaid Bin Muhammad dengan istrinya Zainab, Allah menurunkan hukum pelarangan praktik pengambilan anak angkat. Pelarangan tersebut Allah Swt menegaskan dengan menikahkan Nabi Muhammad Saw dengan mantan menantunya dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 37-40. Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa hukum awal larangan menikahi mantan menantu menjadi kebolehan menikahi mantan menantu dari anak angkat.
Berlanjut kepada poin lain yaitu penafsiran suatu ayat tidak jarang menimbulkan kontroversi yang secara zahirnya menyimpang dari yang ada dalam Al-Qur’an. Maka dengan mengetahui asbabunnuzul, dapat diketahui tentang suatu hal yang menjadi illat (sebab) di balik hukum tertentu, sehingga perubahan hukum tidak berarti menyalahi pedoman kita yaitu Al-Qur’an.
Contohnya seperti keputusan Khalifah Umar Ra tidak membenarkan lelaki muslim menikahi wanita ahli kitab. Namun, Allah secara jelas membolehkan perkara tersebut dalam Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 5:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِیضًا أَوۡ بِهِۦۤ أَذࣰى مِّن رَّأۡسِهِۦ فَفِدۡیَةࣱ
Artinya : “Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepala, maka dia wajib membayar fidyah”. Ayat tersebut turun kepada seorang sahabat Ka’ab bin Ujrah. Tapi dengan menggunakan kaidah tersebut, maka ayat itu menjadi umum sehingga mencakup kepada siapapun yang memiliki masalah yang serupa.
Amirul Mu’minin menjelaskan
bahwa ia tidak mengharamkannya yang berarti menentang hukum Allah Swt, Beliau hanya
mengkhawatirkan akan terlantarnya wanita muslimah jika tidak membuat keputusan
tersebut. Karena pada
saat itu, daerah kekuasaaan Islam semakin meluas yang membuka lebar kesempatan
menikah dengan wanita ahli kitab. Meskipun larangan ini lambat laun
ditinggalkan, tapi hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam boleh adanya perubahan
kebijakan khusus sesuai tuntutan waktu dan keadaan.
Begitulah
Islam datang sebagai pedoman umat manusia hingga akhir zaman yang
ketentuan-ketentuan di dalamnya akan terus relevan tiap zaman. Maka asbabunnuzul
yang menjadi latar belakang hukum akan menjadikan para mujtahid memutuskan
hukum dengan tepat sesuai tempat, waktu dan keadaan dengan melalui penerapan
dua kaidah sebelumnya.
Editor: Muhammad Akmal Fuady




Comments
Post a Comment