Yang Berlalu Tanpa Arah
Seperti biasa malam itu sunyi, di antara gelap dan sepinya, wanita itu terlarut dalam lamunannya, suara hatinya yang lama ia abaikan kali ini pun terdengar. Ada kisah yang tak terurai oleh kata, tak memiliki ruang untuk bahasan orang. Mereka hanya tahu apa yang mata mampu temukan. Pribadi yang baik, pengajian dan Al-Qur’an yang tak pernah ia abaikan.
Orang-orang
menyebut sosoknya istiqomah.
Namun hanya ia yang
tahu, ada sesuatu yang hilang dalam semua rutinitas itu. Sesuatu yang tak dapat
ia ungkapkan. Ia teringat suatu hari, Ketika gurunya menuturkan sebuah nasihat:
“Tanda
berpalingnya Allah dari seorang hamba, adalah ketika ia sibuk dengan hal-hal
yang tidak bermanfaat baginya.”
Dia pun
tertegun, kalimat itu menggantung di benaknya, mengendap seperti bayangan yang
pekat namun tak berwujud. Bukankah ia telah menerima semua nasihat-nasihat?
Bukankah ia telah menggunakan waktunya dengan sesuatu yang bermanfaat?
Ia terdiam, dan
seperti matahari yang tenggelam di ufuk senja, dia mulai kehilangan rasa. Ia
mengingat banyak momen, pengajian yang ia hadiri, banyaknya nasihat para guru,
datang dan pergi layaknya angin, tetapi terperangkap senyap dalam ruangan,
menetap, tetapi apakah ia benar-benar telah meresap dalam jiwa?
“Mengapa aku
merasa kosong, padahal aku telah mengamalkan nasihat-nasihat guruku semampuku?”
Ia mencoba
menjawab semuanya sendiri, lalu kembali teringat satu nasihat lain:
“Barangsiapa
yang satu jam dari usianya berlalu bukan untuk tujuan penciptaannya maka ia
layak untuk menyesal.”
Dia pun
menunduk. Nasihat itu mengukuhkan kegelisahannya, mungkin itu merupakan
penyesalan. Bukankah ia sudah cukup istiqomah dalam pengamalannya, tapi
tujuannya redup tanpa adanya arah? Ia tersadar, bahwa nasihat itu tidak dikumpulkan
bagaikan tumpukan buku yang dibaca lalu lapuk dihalau waktu, nasihat tidak
hanya untuk dituruti, tetapi untuk hidup dalam diri. Nasihat yang didengarkan
dan nasihat yang diresapi adalah dua hal yang berbeda, bukan hanya menjadi
kebiasaan tetapi menjadi kesadaran.
Malam semakin
larut, kamar itu terasa lengang. Tapi untuk sekian lama, dia merasa hatinya
telah berkata jujur. Di bawah atap yang sama, lampu redup menggantung di
langit-langit kamar, menyinari tembok kusam yang tak bersuara, ia berdoa dan
berharap kepada-Nya, arahkan kembali langkah-langkah yang telah kehilangan
jejak.
Tangisnya pecah
perlahan, bukan tangis karena putus asa, melainkan tangis seorang hamba yang
mulai menyadari dirinya. Ia paham, bahwa selama ini ia terlalu sibuk
membuktikan kesalehan di mata manusia, hingga lupa memastikan apakah hatinya
benar-benar hidup bersama Tuhannya. Kesibukan yang dianggap sebagai ibadah,
ternyata bisa menjadi rutinitas tanpa ruh ketika hati kehilangan rasa. Dan di
situlah, ia menyadari: iman bukan sekadar kebiasaan, tetapi perjalanan yang
terus menuntut keikhlasan.
Ia teringat
kembali pada dirinya sendiri, pada masa-masa awal ia mengenal indahnya dekat
dengan Allah. Rasa haru, getar yang menenangkan hati, serta keyakinan yang
kokoh. Kini semua itu seperti bayangan samar. Namun malam ini, di keheningan,
ia berikrar dalam diam: ia ingin kembali. Kembali merasakan bahwa setiap
langkahnya berarti, setiap amalnya terarah, setiap doanya hidup, bukan sekadar
suara tanpa jiwa.
Dia memandang
mushaf di hadapannya. Jemarinya menyentuh sampul yang mulai lusuh, seolah-olah
ia pun ikut rapuh bersama lalai yang tak disadari. Ia membuka lembar demi
lembar, dan setiap ayat yang terbaca terasa seperti suara lembut yang
menegurnya:
“Bukankah ini
adalah kalam Allah yang seharusnya menghidupkanm? Bukan sekadar kau lafalkan
tanpa kau resapi”
Ia merasa
dadanya sesak, seolah setiap huruf menanyakan pertanggungjawaban: sudahkah kau
hidup sesuai makna yang kau baca?
Waktu terus
berjalan, malam makin larut. Tapi justru dalam kelam itulah hatinya mulai
menemukan cahaya. Ia sadar, bahwa Allah tidak menuntut kesempurnaan, melainkan
kesungguhan. Dan kesungguhan itu hanya bisa lahir dari hati yang jujur mengakui
kelemahan diri.
Hening kembali
menyelimuti kamar. Namun kali ini, hening itu bukan lagi kosong. Ada sesuatu
yang berbeda: sebuah kesadaran baru, sebuah tekad untuk memperbaiki arah. Dia
menghela napas panjang, lalu menutup matanya. Ia tahu, perjalanan ini masih
panjang. Tetapi malam ini, ia telah menemukan kembali kunci yang sempat
hilang—kunci kejujuran hati.
“Terkadang,
awal dari perubahan bukan ketika seseorang mulai berbuat, tapi ketika ia sadar
bahwa yang ia perbuat telah kehilangan arah. Kini diapun bertanya, ADAKAH MAKNA
DALAM SETIAP LANGKAHMU?”
.jpeg)



Comments
Post a Comment