Yang Berlalu Tanpa Arah

(source: pinterest)


Oleh: Andi Faris Afaaf Khaerun

Seperti biasa malam itu sunyi, di antara gelap dan sepinya, wanita itu terlarut dalam lamunannya, suara hatinya yang lama ia abaikan kali ini pun terdengar. Ada kisah yang tak terurai oleh kata, tak memiliki ruang untuk bahasan orang. Mereka hanya tahu apa yang mata mampu temukan. Pribadi yang baik, pengajian dan Al-Qur’an yang tak pernah ia abaikan.

Orang-orang menyebut sosoknya istiqomah.

Namun hanya ia yang tahu, ada sesuatu yang hilang dalam semua rutinitas itu. Sesuatu yang tak dapat ia ungkapkan. Ia teringat suatu hari, Ketika gurunya menuturkan sebuah nasihat:

“Tanda berpalingnya Allah dari seorang hamba, adalah ketika ia sibuk dengan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.”

Dia pun tertegun, kalimat itu menggantung di benaknya, mengendap seperti bayangan yang pekat namun tak berwujud. Bukankah ia telah menerima semua nasihat-nasihat? Bukankah ia telah menggunakan waktunya dengan sesuatu yang bermanfaat?

Ia terdiam, dan seperti matahari yang tenggelam di ufuk senja, dia mulai kehilangan rasa. Ia mengingat banyak momen, pengajian yang ia hadiri, banyaknya nasihat para guru, datang dan pergi layaknya angin, tetapi terperangkap senyap dalam ruangan, menetap, tetapi apakah ia benar-benar telah meresap dalam jiwa?

“Mengapa aku merasa kosong, padahal aku telah mengamalkan nasihat-nasihat guruku semampuku?”

Ia mencoba menjawab semuanya sendiri, lalu kembali teringat satu nasihat lain:

“Barangsiapa yang satu jam dari usianya berlalu bukan untuk tujuan penciptaannya maka ia layak untuk menyesal.”

Dia pun menunduk. Nasihat itu mengukuhkan kegelisahannya, mungkin itu merupakan penyesalan. Bukankah ia sudah cukup istiqomah dalam pengamalannya, tapi tujuannya redup tanpa adanya arah? Ia tersadar, bahwa nasihat itu tidak dikumpulkan bagaikan tumpukan buku yang dibaca lalu lapuk dihalau waktu, nasihat tidak hanya untuk dituruti, tetapi untuk hidup dalam diri. Nasihat yang didengarkan dan nasihat yang diresapi adalah dua hal yang berbeda, bukan hanya menjadi kebiasaan tetapi menjadi kesadaran.

Malam semakin larut, kamar itu terasa lengang. Tapi untuk sekian lama, dia merasa hatinya telah berkata jujur. Di bawah atap yang sama, lampu redup menggantung di langit-langit kamar, menyinari tembok kusam yang tak bersuara, ia berdoa dan berharap kepada-Nya, arahkan kembali langkah-langkah yang telah kehilangan jejak.

Tangisnya pecah perlahan, bukan tangis karena putus asa, melainkan tangis seorang hamba yang mulai menyadari dirinya. Ia paham, bahwa selama ini ia terlalu sibuk membuktikan kesalehan di mata manusia, hingga lupa memastikan apakah hatinya benar-benar hidup bersama Tuhannya. Kesibukan yang dianggap sebagai ibadah, ternyata bisa menjadi rutinitas tanpa ruh ketika hati kehilangan rasa. Dan di situlah, ia menyadari: iman bukan sekadar kebiasaan, tetapi perjalanan yang terus menuntut keikhlasan.

Ia teringat kembali pada dirinya sendiri, pada masa-masa awal ia mengenal indahnya dekat dengan Allah. Rasa haru, getar yang menenangkan hati, serta keyakinan yang kokoh. Kini semua itu seperti bayangan samar. Namun malam ini, di keheningan, ia berikrar dalam diam: ia ingin kembali. Kembali merasakan bahwa setiap langkahnya berarti, setiap amalnya terarah, setiap doanya hidup, bukan sekadar suara tanpa jiwa.

Dia memandang mushaf di hadapannya. Jemarinya menyentuh sampul yang mulai lusuh, seolah-olah ia pun ikut rapuh bersama lalai yang tak disadari. Ia membuka lembar demi lembar, dan setiap ayat yang terbaca terasa seperti suara lembut yang menegurnya:

“Bukankah ini adalah kalam Allah yang seharusnya menghidupkanm? Bukan sekadar kau lafalkan tanpa kau resapi”

Ia merasa dadanya sesak, seolah setiap huruf menanyakan pertanggungjawaban: sudahkah kau hidup sesuai makna yang kau baca?

Waktu terus berjalan, malam makin larut. Tapi justru dalam kelam itulah hatinya mulai menemukan cahaya. Ia sadar, bahwa Allah tidak menuntut kesempurnaan, melainkan kesungguhan. Dan kesungguhan itu hanya bisa lahir dari hati yang jujur mengakui kelemahan diri.

Hening kembali menyelimuti kamar. Namun kali ini, hening itu bukan lagi kosong. Ada sesuatu yang berbeda: sebuah kesadaran baru, sebuah tekad untuk memperbaiki arah. Dia menghela napas panjang, lalu menutup matanya. Ia tahu, perjalanan ini masih panjang. Tetapi malam ini, ia telah menemukan kembali kunci yang sempat hilang—kunci kejujuran hati.

“Terkadang, awal dari perubahan bukan ketika seseorang mulai berbuat, tapi ketika ia sadar bahwa yang ia perbuat telah kehilangan arah. Kini diapun bertanya, ADAKAH MAKNA DALAM SETIAP LANGKAHMU?”

 


Comments