BELAJAR DARI MENGAJAR

(Source: Pinterest)

Oleh: Muh. Ryan Bhakty Baramuli

Proses belajar mengajar (PBM) yang juga dikenal proses pembelajaran merupakan gabungan dari dua konsep yaitu belajar yang dilakukan oleh siswa dan mengajar yang dilakukan oleh instruktur atau guru. Belajar tertuju pada apa yang harus dilakukan oleh seseorang sebagai objek yang menerima pembelajaran. Sedangkan mengajar adalah distribusi materi pembelajaran kepada objek. 

Namun fenomena yang seringkali muncul sebagai pertanyaan adalah apakah bisa mengajar itu sendiri menjadi proses pembelajaran bagi si pengajar? Pertanyaan ini sendiri bisa dijawab dari segi psikologi seperti yang dipaparkan oleh beberapa ahli.

Secara psikologi, seseorang dapat memperdalam ilmu melalui aktivitas mengajar. Hal ini dijelaskan dalam teori metacognition oleh John Flavell (1976) bahwa ketika seseorang harus menjelaskan sebuah pengetahuan, ia terdorong untuk menata ulang, mengorganisasi, dan merefleksikan struktur kognitifnya sehingga pemahamannya menjadi lebih mendalam.

Fenomena ini juga dikenal sebagai the protege effect (Bargh & Schul, 1980), yaitu kondisi di mana individu belajar lebih baik karena ia mengajarkan kepada orang lain. Selain itu, Lev Vygotsky dengan konsep zone of proximal development (1978) menegaskan bahwa interaksi sosial, termasuk kegiatan mengajar, menjadi mendium penting bagi perkembangan intelektual dan pemahaman yang mendalam. Dengan demikian, aktivitas mengajar bukan hanya sebatas proses pedagogis, melainkan juga sarana psikologi yang efektif dalam memperkuat, memperdalam, dan memperluas ilmu bagi sang pengajar itu sendiri.

Menurut imam al-Ghazali kegiatan belajar dan mengajar itu punya konsep, yaitu proses memanusiakan manusia  sejak masa buaiannya sampai akhir hayatnya, melalui berbagai ilmu pengetahuan yang dihsampaikan dalam bentuk pengajaran yang bertahap.

Di samping itu, imam al-Ghazali juga memiliki paham atau aliran konvergensi, yaitu sebuah aliran dalam psikologi belajar yang meyakini bahwa perkembangan pada anak dipengaruhi oleh faktor hereditas/pembawaan dan lingkungan. Dalam hal ini pembawaan menumbuhkan fungsi-fungsi dan kapasitas. Sementara lingkungan mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan.

Mengajar ialah suatu kegiatan mentransfer ilmu pengetahuan dari guru kepada murid. Dalam berapa pendapat, mengajar (ta’lîm) disertakan dengan mendidik (ta’dîb). Mengajar dinilai lebih dahulu ada daripada mendidik. Ini dapat dilihat dari sejarah rasullah yang mengajarkan membaca Al-Quran.

Dalam hal mengajar, imam al-Ghazali mempunyai pandangan tersendiri di antaranya:

· Memelihara objek ajar dari perbuatan tercela

· Membimbingnya agar menjadi anak yang sholeh

· Menjauhkan anak dari pergaulan yang jelek

· Mengajarkan cara yang benar dalam mencari rezeki

· Mengajar anak agar tidak sombong

· Mengajarkan Al-Quran

· Memberi kesempatan untuk bermain dan berolah raga untuk mengembangkan penalaran.

Pandangan mengajar imam al-Ghazali sebagaimana yang sudah disebutkan, menitikberatkan aspek pembinaan moral yang mengacuh pada baik buruknya manusia sebagai manusia, yang berkaitan dengan nilai-nilai norma serta berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan benar atau salah.

Dalam konteks pendidikan Islam, dikenal terminologi pendidikan Islam sebagai, “al-tarbiyah, al-ta’lîm dan al-ta’dîb” yang  masing-masing memiliki karakteristik makna di samping mempunyai kesesuaian dalam pengertian pendidikan.

 

1. Al-tarbiyah

Istilah tarbiyah berakar dari rabbâ-yurabbî-tarbiyatan yang berarti bertambah dan tumbuh, kata rabba-yarubbu juga memiliki arti: memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara.

Kata rabb tidak hanya dibatasi dalam makna memelihara dan membimbing, tetapi jauh lebih luas, yaitu memelihara dan menjamin atau memenuhi kebutuhan yang dipeliharanya, membimbing dan mengawasi serta memperbaikinya dalam segala sesuatu, pemimpin yang menjadi penggerak utamanya secara keseluruhan, pimpinan yang diakui kekuasaannya, berwibawa dan semua perintahnya diindahkan; dan raja atau pemilik. Menurut para ulama, kata al-tarbiyah mencakup dua dimensi besar: Pertama, dimensi pengembangan potensi internal manusia seperti akal, hati, dan keterampilan. Kedua, dimensi penyesuaian dengan lingkungan sosial agar manusia mampu menjalani perannya sebagai khalifah di muka bumi.

Maka al-tarbiyah merupakan suatu proses mendidik, membina, dan menumbuhkan potensi manusia secara holistik, sehingga melahirkan pribadi yang berilmu, beriman, dan berakhlak mulia. Ia bukan hanya kegiatan akademik, akan tetapi juga pembinaan rohani dan moral yang berkesinambungan.

Imam al-Ghazali menekankan bahwa pendidikan sejati adalah usaha membentuk akhlak dan menyucikan jiwa agar manusia mendekat kepada Allah. Sementara itu, Muhammad Athiyah al-Abrasyi mendefinisikan al-tarbiyah sebagai proses mengembangkan potensi peserta didik secara menyeluruh, meliputi aspek jasmani, akal dan rohani.

Perlu diketahui dalam penerapannya, potensi internal manusia ini dalam konsep al-tarbiyah diterapkan dalam dua arah. Selain memgaruhi objek ajar ia juga secara tak langsung memberikan pengaruh pada subjek pengajar. Sejalan dengan teori John Flavell terkait penataan ulang dan pengorganisasian materi, tuntutan kepada pengajar untuk mengoptimalkan pelajaran, yang dalam hal ini, merupakan potensial internal manusia tadi menjadikan struktur kognitif dan pemahaman si subjek pengajar lebih mendalam.

 

2. Al-ta’lîm

Secara etimologis berasal dari kata kerja ‘allama-yu’allimu-ta’lîman yang berarti mengajar. Kata ‘allama memberi pengertian sekedar memberi tahu, tidak mengandung arti pembinaan kepribadian, karena sedikit sekali kemungkinan ke arah pembentukan kepribadian yang disebabkan pemberian pengetahuan. Proses al-ta’lîm justru lebih universal dibandingkan dengan proses al-tarbiyah, karena al-ta’lîm tidak berhenti pada pengetahuan yang lahiriah, juga tidak sampai pada pengetahuan taklid, akan tetapi ta’lîm mencakup pula pengetahuan teoritis, mengulang kaji secara lisan dan menyuruh melaksanakan pengetahuan, al-ta’lîm mencakup pula aspek-aspek keterampilan yang membutuhkan dalam kehidupan serta pedoman berlaku.

Dalam pandangan ulama, pengertian al-ta’lîm memiliki nuansa yang lebih dalam. Menurut imam al-Ghazali, al-ta’lîm bukan sekedar menyampaikan informasi, melainkan juga membimbing akal dan hati murid agar ilmu yang memperoleh mampu membawanya menuju kedekatan dengan Allah.

Dari banyaknya pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa al-ta’lîm adalah proses pengajaran ilmu yang tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga mencakup pembentuk akhlak dan adab, serta dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan peserta didik.

Kita akan mengambil contoh seperti ketika dosen menyampaikan materi tafsir di kelas. Di sini dosen menjelaskan makna ayat-ayat Al-Quran memberikan penafsiran, dan menjawab pertanyaan mahasiswa. Proses ini juga disebut sebagai al-ta’lim, karena ia fokus utamanya adalah pengajaran ilmuan. Hal ini sejalan dengan teori Lev Vygotsky yang menegaskan interaksi sosial sebagai faktor dua arah yang memengaruhi objek dan subjek, termasuk kegiatan mengajar dosen tadi. Pentingnya tanggung jawab mengajar mahasiswa bagi pengembangan intelektual mendalam sang dosen. Selain juga sarana psikoligis yang efektif dalam memperkuat proses pendidikan dosen itu sendiri.

 

 

3. Al-ta’dib

Al-ta’dîb merupakan salah satu konsep yang merujuk kepada hakikat dari inti makna pendidikan yang berasal dari kata adab, yang berarti memberi adab, mendidik dengan mengedepankan pembinaan moral. Adab dalam kehidupan sering diartikan sopan santun yang mencerminkan kepribadian, suatu pengetahuan yang mencegah manusia dari kesalahan-kesalahan penilaian. Istilah ini dianggap merepresentasikan makna utama pendidikan Islam.

Secara etimologis, kata al-ta’dîb berasal dari akar kata addaba-yu’addibu-ta’diban yang berarti memberi adab, mendisiplinkan, atau mendidik dengan adab yang baik. Dengan demikian, al-ta’dîb bermakna sebagai proses penanaman adab yang menyeluruh dalam diri seseorang.

Menurut al-Attas, beliau menegaskan kembali bahwa istilah al-tarbiyah dan al-ta’lîm hanya sebagian dari pendidikan Islam, sementara al-ta’dîb mencakup keseluruhannya, sebab pendidikan dalam Islam dasarnya adalah proses “pemberadaban” manusia.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa al-ta’dîb merupakan konsep pendidikan Islam yang menekankan pada penanaman adab sebagai inti dari pembentuk kepribadian manusia.

Seperti guru yang menegur muridnya ketika berbicara kasar. Seorang guru tidak hanya menyuruh muridnya berhenti berkata kasar, tetapi juga menjelaskan bahwa ucapan yang baik adalah cermin akhlak Islami. Di mana guru juga harus melakukan pembiasaan terhadap dirinya terhadap akhlak slami tadi, yang secara tak langsung menjadi metode pembelajaran bagi dirinya. Tindakan ini disebut juga sebagai al-ta’dîb, karena menanam adab dalam berbicara. Sejalan dengan teori the protege effect (Bargh & schul) yang menegaskan kondisi di mana individu belajar lebih baik karena ia mengajarkan kepada orang lain.

Berdasarkan teori ketiga tokoh di atas dapat dipahami bahwa belajar itu tidak hanya kepada yang belajar, tapi juga kepada yang mengajar.  Di mana penerapannya terhadap konsep al-tarbiyah, al-ta’lîm, dan al-ta’dîb bisa diaplikasikan dalam dua arah yang tidak hanya berfokus pada objek ajar tapi juga subjek pengajar.

Pemahaman terkait ini ditujukan untuk melahirkan kepekaan yang jarang muncul dari subjek terkait dampak dari tanggung jawab mereka sebagai pengajar terhadap diri mereka sendiri. Di mana kepekaan terhadap fenomena ini secara psikologis bisa dijadikan bahan evaluasi eksklusif untuk meningkatkan mutu pengajaran mereka. 

Comments