(source: pinterest)
Oleh: Ahmad Fakhry
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak pernah terlepas dari
kesalahan maupun kebenaran dalam berbagai aspek. Oleh karena itu, terdapat
perintah untuk senantiasa mencari dan membaca dalam setiap bidang kehidupan.
Hal ini sejalan dengan wahyu pertama yang diturunkan dalam Al-Quran, yaitu
kalimat “Iqra’” yang dalam ilmu bahasa arab bentuknya disebut fiil
amr sehingga menjadikannya kata perintah yang bermakna “bacalah”.
Namun, perlu diketahui bahwa kata Iqra’
memiliki beberapa penafsiran, bukan hanya bacalah tapi menelitilah, dalamilah,
ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah,
diri sendiri, dan lain-lain. Maka objek perintah iqra’ tidak sesempit
hanya membaca buku, tapi mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Menurut penafsiran Imam al-Razi yang wafat pada tahun 1209 M, kata iqra’
memiliki makna mendalam. Beliau menekankan bahwa iqra’ adalah simbol pencarian ilmu.
Bagi Imam Al-Razi juga, membaca bukan hanya soal huruf dan kata, tapi juga
meliputi segala bentuk pengenalan ilmu: membaca wahyu, membaca alam, dan
membaca diri sendiri. Menariknya, beliau mengatakan bahwa Allah memulai risalah-Nya
dengan perintah membaca, bukan dengan salat atau zakat. Artinya, ibadah ritual
tidak bisa terlaksana tanpa dibarengi ilmu.
Seperti yang dijelaskan juga oleh salah
seorang cendekiawan muslim Indonesia Quraish Syihab dalam buku Wawasan
Al-Quran, beliau menafsirkan kata iqra’ sebagai perintah universal:
membaca diri sendiri, dan membaca realitas sosial.
Oleh karena itu, manusia diwajibkan untuk membaca dalam berbagai
aspek kehidupan. Namun, di balik perintah membaca, terdapat berbagai kesulitan untuk
menjalaninya, termasuk kesulitan untuk membaca diri sendiri. Dalam proses membaca, sering muncul berbagai kesalahan, salah
satunya adalah kekeliruan dalam memahami situasi dan kondisi diri.
Dalam kegiatan membaca, setiap orang memiliki caranya
masing-masing. Pada bagian ini akan dijelaskan salah satu metode membaca,
menyesuaikan diri dengan keadaan, serta menyelesaikan permasalahan secara
efisien.
Dalam perjalanan hidup, manusia sering mengalami naik-turunnya
proses menuju pencapaian diri. Pada saat tertentu, muncul rasa stres atau
frustrasi yang tidak dapat diprediksi kapan datangnya. Namun, manusia
senantiasa memiliki jalan keluar dari setiap masalah.
Dalam Al-Quran juga disebutkan berbagai solusi atas persoalan
hidup, salah satunya melalui perintah membaca Iqra’. Begitu pula menurut Cania
Citta dan Abigail Limuria dalam buku Makanya, Mikir!, bahwa salah satu
penyebab munculnya rasa frustrasi atau stres adalah kurangnya membaca. Membaca
yang dimaksud bukan sekadar teks, melainkan proses memahami berbagai aspek yang
berkaitan dengan diri. Hal ini menuntut setiap individu untuk mengenal lebih
dalam setiap aspek tersebut. Metode yang dijelaskan dalam buku tersebut
mencakup beberapa langkah:
1.
Jadilah Realistis bukan Idealis
Realistis berarti memahami kondisi sebagaimana adanya. Sejumlah
filsuf dan psikolog menekankan pentingnya sikap realistis. Machiavelli dalam The
Prince menegaskan bahwa seorang pemimpin harus menghadapi manusia
sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang diharapkan. Begitu juga Freud,
beliau menekankan prinsip realitas, bahwa kedewasaan ditandai oleh kemampuan
menyesuaikan diri dengan dunia nyata.
Dalam psikologi modern, Albert Ellis melalui Reason and Emotion
in Psychotherapy dan Viktor Frankl dalam Man’s Search for Meaning
mengingatkan bahwa kebijaksanaan bukanlah mengurung diri dalam Idealisme,
melainkan berdamai dengan realitas dan bekerja bersama kenyataan yang ada.
Dengan demikian, dari filsafat politik hingga psikologi klinis, pesan yang
disampaikan tetap sama: jadilah realistis, bukan idealis yang kosong.
2.
Paham akan Prioritas bukan Fokus pada Tujuan
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia akan selalu menghadapi
berbagai kepentingan yang berdatangan. Namun, tidak semua hal yang dianggap
penting memiliki tingkat kepentingan yang sama.
Ada beberapa kepentingan yang dapat
dilakukan dengan orang lain, sehingga tidak harus ditangani sendiri. Sementara kepentingan yang harus ditangani secara pribadi pun belum
tentu dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, setiap kepentingan dapat
dikelompokkan ke dalam beberapa kategori menurut modifikasi Matriks Eisenhower dari
buku Makanya, Mikir!:
|
Tipe 1
|
Penting; punya tenggat waktu atau deadline.
|
|
Definisi
Sesuatu itu penting untuk dilakukan, membutuhkan
keahlian spesifik kita (sebaiknya tidak dilakukan orang lain), dan ada
tenggat waktu.
|
Prioritas
Lakukan segera
|
|
Tipe 2
|
Tidak penting; ada tenggat waktu.
|
|
Definisi Sesuatu itu penting untuk dilakukan, tidak
membutuhkan keahlian spesifik kita (bisa dilakukan orang lain), dan ada
tenggat waktu.
|
Prioritas Delegasi segera
|
|
Tipe 3
|
Penting; tidak ada tenggat waktu.
|
|
Definisi
Sesuatu itu penting untuk dilakukan, membutuhkan
keahlian spesifik kita (sebaiknya tidak dilakukan orang lain), dan tidak ada
tenggat waktu.
|
Prioritas Jadwalkan untuk dilakukan nanti
|
|
Tipe 4
|
Tidak penting; tidak ada tenggat waktu.
|
|
Definisi
Sesuatu tidak penting untuk dilakukan dan tidak
ada tenggat waktu.
|
Prioritas
Tinggalkan/buang
|
|
|
|
Sumber:
Cania Citta & Abigail Limuria, Makanya, Mikir! (2024: 194)
Setelah pembagian kepentingan di atas, kata “penting” biasanya
merujuk pada hal-hal yang berpengaruh terhadap tujuan atau yang bermanfaat bagi
individu. Sedangkan yang disebut “tidak penting” berarti tidak berpengaruh
terhadap tujuan dan tidak bermanfaat bagi diri.
Dalam konteks tersebut, hal-hal yang tidak penting sebaiknya tidak
dimasukkan ke dalam daftar kepentingan (to-do list) sejak awal, atau
ditinggalkan agar daftar prioritas menjadi lebih terfokus.
Setelah menyingkirkan atau menyeleksi tugas yang tidak penting,
langkah berikutnya adalah menyusun urutan prioritas. Menurut Prinsip Pareto,
dalam kehidupan sehari-hari secara umum, 80% hasil berasal hanya dari 20% usaha
yang dilakukan.
Hukum 80/20 ini merupakan fenomena yang diamati oleh Vilfredo
Pareto, seorang ekonom Italia, pada tahun 1896. Saat itu, ia menemukan bahwa
80% tanah di Italia dimiliki oleh 20% populasi, sementara 20% tanaman di
lahannya menghasilkan 80% hasil panen.
Ia kemudian meneliti berbagai industri dan sektor lain, dan
menemukan pola serupa. Akan tetapi, rasio 80:20 ini tidak bersifat mutlak.
Secara sederhana, perbandingan ini menunjukkan bahwa satu proporsi jauh lebih
besar dibandingkan proporsi lainnya.
Di sini, rumus 80/20 dapat digunakan dengan pembagian “signifikan”
dan “kurang signifikan”. Hal-hal yang termasuk 20% Pareto dimasukkan ke
kategori “signifikan”, sedangkan 80% sisanya ke dalam kategori “kurang
signifikan”.
Selain pembagian berdasarkan signifikansi, hal-hal tersebut juga
dapat dikelompokkan menurut apakah dapat didelegasikan kepada orang lain atau
tidak. Variabel “mendesak” (urgent) juga perlu dimasukkan pada tahap
berikutnya. Untuk memperjelas, berikut disusun tabel pengertian
variabel-variabel tersebut:
Variabel | Pertanyaan Acuan | Jawaban |
Ya | Tidak |
Signifikan | Seberapa berdampak ke tujuan atau seberapa berguna untuk kita jika hal ini dilakukan? (Gunakan Prinsip Pareto) | 80% Pareto | 20% Pareto |
Bisa Didelegasikan | Seberapa krusial hal ini harus dilakukan oleh kita sendiri? Cek pertanyaan-pertanyaan berikut untuk menjawabnya: 1. Apa hanya kita yang bisa menyelesaikan hal ini dengan baik? 2. Seberapa fatal potensi konsekuensinya jika bukan kita yang mengerjakan? | Tidak krusial (bisa dilakukan orang lain) | Krusial |
Mendesak (urgent) | Seberapa dekat tenggat waktunya untuk mengurus/menyelesaikan tugas ini (dari waktu masuk/sampainya tugas ke kita)? | Tenggat waktu sangat dekat | Tidak ada tenggat waktu |
Sumber: Cania Citta & Abigail Limuria, Makanya, Mikir! (2024: 201)
Catatan: jika jawabannya
“tidak”, maka otomatis masuk ke kategori lawannya (misalnya “tidak signifikan”,
“tidak bisa didelegasikan”, atau “tidak mendesak”)
Setelah masuk ke dalam variabel tadi, langkah selanjutnya adalah mencoba
menyaring berbagai urusan atau tugas yang masuk ke dalam radar kita. Dari
proses ini akan tersisa hal-hal yang layak dimasukkan ke dalam daftar tugas
(to-do list)
Proses ini mencakup dua hal: apakah urusan tersebut penting, dan apakah
bisa didelegasikan. Jika tidak penting, sebaiknya diabaikan. Jika bisa
didelegasikan, serahkan kepada orang lain.
Setelah
penyaringan selesai dilakukan, tahap berikutnya adalah menyusun prioritas
(to-do list). Urutan ini dapat dibagi menjadi empat bagian:
|
Prioritas 1
Signifikan dan mendesak.
|
Prioritas 2
Kurang signifikan,
tapi mendesak.
|
|
Prioritas 3 Signifikan, tapi tidak mendesak.
|
Prioritas 4
Kurang signifikan dan tidak mendesak.
|
Sumber: Cania Citta & Abigail Limuria, Makanya, Mikir! (2024:
203)
3. Mengenal dan Berdamai dengan Diri Sendiri
Setiap
individu memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda, dan tidak semua
memiliki kekuatan yang sama untuk mencapai tujuan masing-masing. Memahami
kondisi dan situasi diri merupakan salah satu kunci untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
Ketika
kondisi diri dipahami dengan baik pada saat menjalani proses, akan lebih mudah
untuk mengetahui jalan yang tepat guna mencapai tujuan. Dengan memahami kondisi
diri, seseorang secara tidak langsung dapat berdamai dengan dirinya pada
keadaan saat ini.
Mengenal
dan berdamai dengan diri juga merupakan salah satu faktor kebahagiaan manusia.
Terkadang, ketika seseorang terlalu berharap lebih pada gambaran atau standar
tinggi yang diciptakan kemudian tidak tercapai, akan timbul rasa frustrasi atau
kegagalan.
Keadaan
ini disebut avoidance coping (coping penghindaran) dalam buku Seni
Berdialog dengan Diri Sendiri karya Dr. Muhammad Ibrahim. Artinya,
menggabungkan standar yang hampir mustahil dicapai dengan kecenderungan
menghindar dari masalah, lalu melarikan diri darinya, dapat menjadi faktor
munculnya stres dan depresi.
Oleh karena itu, menentukan tujuan yang sesuai
dengan kondisi saat berproses merupakan salah satu bentuk keberhasilan dalam
memahami diri dan berdamai dengan keadaan. Tidak ada kewajiban untuk memiliki
cita-cita atau tujuan yang tinggi, tetapi setiap individu diwajibkan untuk
terus berproses dan berusaha dalam setiap lini kehidupan. Cita-cita atau tujuan
yang tinggi tetap sah untuk dimiliki, asalkan disertai pemahaman tentang
langkah-langkah untuk mencapainya. Sering kali tujuan yang tinggi tidak
diiringi dengan pengetahuan tentang tahapan konkret untuk mewujudkannya.
4. Memahami Faktor Eksternal dan Internal dalam Hidup Kita
Sebagai
manusia, hanya keadaan yang telah ditetapkan oleh Tuhan yang dapat diterima
tanpa pilihan. Sejak lahir, individu tidak bisa menentukan kondisi maupun
keluarga tempat ia dilahirkan. Hal ini dapat disebut sebagai faktor eksternal.
Adapun pengelolaan faktor eksternal bergantung pada cara individu menyikapinya.
Penyesuaian
diri terhadap keadaan serta penentuan langkah-langkah ke depan untuk mencapai
tujuan termasuk ke dalam faktor internal. Faktor eksternal dan internal dapat
dijelaskan secara sederhana agar lebih mudah dipahami :
a)
Faktor Eksternal: Hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan,
seperti lahir di keluarga atau negara seperti apa, privileges, penyakit yang
datang tiba-tiba, krisis ekonomi dunia, dan ain-lain.
b)
Faktor Internal: Hal-hal yang bisa kita kendalikan,
seperti bagaimana cara kita berpikir, regulasi emosi, dan lain-lain.
Dari
penjelasan faktor eksternal dan internal di atas, dapat disimpulkan bahwa
segala sesuatu yang merupakan ketetapan dari Tuhan, tidak dapat diubah. Namun,
hal tersebut tetap bisa dikelola. Kemampuan mengelola apa yang telah diberikan
merupakan salah satu bentuk keberhasilan seseorang dalam hidupnya.
Dalam
kehidupan sehari-hari, hal ini dapat diilustrasikan melalui permainan kartu.
Dalam permainan tersebut, pemain tidak bisa menentukan kartu yang akan
diterima. Namun, yang menentukan kemenangan adalah bagaimana cara memainkan
kartu yang diperoleh.
Dari
permainan kartu tersebut, tergambar bagaimana setiap keadaan dapat dikelola.
Keadaan yang buruk tidak selalu menjadikan seseorang menjadi pribadi yang
buruk. Namun, hasil akhirnya sangat bergantung pada bagaimana keadaan itu
dikelola hingga mampu menghasilkan pencapaian yang baik.
5. Memahami Konsep Threshold
Secara
bahasa, threshold berarti ambang pintu. Dalam konteks kehidupan, isitilah
ini merujuk pada titik batas transformasi dari umum menjadi rinci, dari kabur
menjadi jelas. Konsep ini dapat digunakan sebagai acuan dalam menyeleksi
keputusan.
Dengan demikian, threshold dapat dipahami sebagai konsep mengerucut, yakni
saat sebuah keputusan yang awalnya abstrak dipersempit hingga menemukan bentuk
detailnya. Contoh penerapannya dapat dilihat pada “KKM” (Kriteria Ketuntasan
Minimal) di dunia pendidikan. Siswa yang tidak mencapai KKM tidak dapat
dinyatakan lulus atau naik kelas.
Dalam konteks ini, kita akan menyeleksi berbagai keputusan yang tidak
sesuai dengan nilai minimal dalam hidup kita. Sebagaimana
dijelaskan dalam buku Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail
Limuria, konsep threshold terbagi menjadi tiga bagian :
a) Cost-Benefit Analysis (CBA)
Dalam
setiap pengambilan keputusan, seseorang cenderung mempertimbangkan seberapa
besar keuntungan dan kerugian yang mungkin timbul. Namun, bagaimana cara
mengetahui besaran kerugian dan keuntungan suatu keputusan dengan tepat?
Untuk
itu, konsep Cost-Benefit Analysis (CBA) dapat digunakan untuk membantu
proses tersebut. Melalui konsep ini, berbagai keputusan dikelompokkan
berdasarkan keuntungan (benefit) dan kerugian (cost). Setelah pengelompokan
dilakukan, akan terlihat besarnya keuntungan dan kerugian dari setiap keputusan
yang diambil.
b) Value (Nilai yang sesuai dengan kondisi diri kita)
Setelah
keuntungan dan kerugian setiap keputusan diidentifikasi, langkah selanjutnya
adalah memberi nilai pada masing-masing keputusan sesuai dengan keadaan dan
kondisi yang ada. Besaran tersebut dapat dihitung menggunakan
skala angka 1-5. Dalam tabel benefit, angka 5 menandakan keuntungan yang
sangat besar bagi diri kita, begitupun sebaliknya. Jika dalam tabel benefit menunjukan
angka 1, maka keuntungan pada diri kita tidak terlalu berpengaruh atau biasa
saja.
Sementara
dalam tabel cost, angka 5 menunjukkan kerugian yang sangat besar,
sedangkan angka 1 menunjukkan kerugian yang relatif ringan.
Dengan demikian, penggunaan angka pada tabel disesuaikan dengan besaran
dampaknya terhadap kehidupan kita. Semakin besar angkanya, semakin besar pula
pangaruhnya. Sebaliknya, semakin kecil angkanya, maka semakin kecil pula
pengaruhnya terhadap kehidupan kita.
Setelah
itu, angka-angka dari setiap keputusan dijumlahkan untuk memperoleh hasil
total. Dari hasil tersebut dapat terlihat keputusan mana yang paling merugikan
maupun yang paling menguntungkan.
Contoh: Jika
suatu keputusan mendapat nilai benefit 4 dan cost 2, maka dapat dipahami bahwa
keputusan tersebut cenderung menguntungkan. Sebaliknya, jika benefit hanya 2
sementara cost 5, maka keputusan itu lebih banyak menimbulkan kerugian.
c) Probabilitas (Seberapa kemungkinan keputusan yang akan terjadi
dalam hidup kita)
Probabilitas merupakan ukuran matematis yang menunjukkan seberapa besar
kemungkinan suatu peristiwa terjadi, terutama ketika seseorang dihadapkan pada
berbagai pilihan keputusan. Melalui probabilitas, setiap kemungkinan dapat
dipertimbangkan secara kuantitatif sehingga memudahkan dalam menentukan
keputusan yang paling rasional.
Probabilitas
suatu keputusan ditentukan berdasarkan skala angka 0–1. Semakin besar angkanya,
semakin tinggi pula kemungkinan terjadinya keputusan tersebut. Besaran
probabilitas ini kemudian dikelompokkan ke dalam setiap keputusan yang telah
tersaring melalui CBA dan Value.
Setelah
pengelompokan probabilitas dilakukan, angka-angka tersebut dijumlahkan. Hasil
total kemudian digabungkan dengan nilai dari CBA dan Value untuk menghasilkan
perhitungan keseluruhan.
Setelah
total keseluruhan angka diketahui, keputusan yang paling akurat dapat diambil
melalui proses panjang tersebut. Perlu dipahami bahwa proses ini hanya sebagian
kecil dari banyak metode yang ada. Oleh karena itu, upaya mencari dan
mempelajari proses lain tidak boleh berhenti.
Misalnya
dalam memilih antara melanjutkan kuliah atau langsung bekerja, keputusan
dianalisis melalui tiga tahap. Pada tahap CBA, kuliah dinilai memiliki manfaat
yang lebih besar meskipun biayanya juga tinggi, sedangkan bekerja memiliki
manfaat sedang dengan biaya rendah.
Pada
tahap Value, kuliah mendapat skor benefit 4 dan cost 3, sementara bekerja
mendapat skor benefit 3 dan cost 2. Selanjutnya, probabilitas kesuksesan kuliah
diperkirakan sebesar 0,7, sedangkan bekerja sebesar 0,4. Setelah
dikalkulasikan, kuliah menghasilkan nilai total 0,7, sedangkan bekerja 0,4.
Dengan demikian, berdasarkan analisis CBA, Value, dan Probabilitas, pilihan
melanjutkan kuliah lebih unggul daripada langsung bekerja.
Gambaran
singkatnya bisa dilihat sebagai berikut:
Misalnya ada dua pilihan keputusan:
1.
Melanjutkan
kuliah
2.
Langsung
bekerja
- Probabilitas
melanjutkan kuliah sukses → 0,7 (70%)
- Probabilitas
langsung bekerja sukses → 0,4 (40%)
Artinya,
peluang keberhasilan kuliah lebih besar (0,7) dibanding langsung bekerja (0,4).
Contoh Keseluruhan (CBA + Value + Probabilitas)
Kita gabung menjadi tiga tahap:
1. Cost-Benefit
Analysis (CBA)
-
Kuliah: benefit
lebih besar, cost cukup tinggi.
-
Kerja: benefit
sedang, cost rendah.
2. Value (Skala
1–5)
-
Kuliah →
benefit 4, cost 3
-
Kerja → benefit
3, cost 2
3. Probabilitas
(0–1)
-
Kuliah → 0,7
-
Kerja → 0,4
Cara Menghitung Total
Agar
mudah, kita jumlahkan angka benefit dan cost, lalu dikalikan dengan
probabilitas:
-
Kuliah: (4
– 3) = 1 × 0,7 = 0,7
-
Kerja: (3
– 2) = 1 × 0,4 = 0,4
# Dari hasil ini,
kuliah lebih unggul (0,7 > 0,4).
Dalam
beberapa penyelesaian masalah yang telah disebutkan di atas, banyak orang
mengalami stres karena memiliki tujuan yang sangat tinggi, tetapi tidak
mengetahui bagaimana cara mencapainya.
Pada
titik inilah “membaca” kembali mengambil peran penting. Membaca tidak hanya
membantu menemukan informasi yang relevan untuk mengambil keputusan, tetapi
juga membuka wawasan baru yang melampaui tujuan awal. Dari aktivitas membaca,
seseorang kerap memperoleh pengetahuan tambahan yang memperkuat fondasi
hidupnya.
Mengutip dari kisah yang dialami oleh Buya Hamka, ketika berada
dipenjara juga memilih untuk membaca dan menulis. Dari keterasingan itulah
lahir Tafsir Al-Azhar, sebuah karya monumental yang justru lahir dari
ruang sepi. Membaca memberi mereka cara pandang baru: bahwa masalah bukanlah
akhir, melainkan pintu masuk menuju kedewasaan jiwa.
Dari sini kita harusnya sadar, mengapa kita harus membaca? Karena ketika
kita sudah banyak membaca, tidak dapat dipungkiri bahwa diri ini telah memiliki
tambahan pondasi dalam hidupnya. Ketika ada ombak yang akan menerjangnya, dia
akan mudah berpegangan dengan pondasi-pondasi yang dia buat. Dalam artian,
ketika kita banyak membaca kita akan memiliki banyak pegangan hidup saat
diterpa banyaknya masalah yang muncul.
Dengan demikian, membaca bisa dipahami bukan hanya sekadar hiburan,
melainkan jembatan menuju solusi, membuka ruang berpikir, memperluas sudut
pandang, dan menghadirkan keberanian untuk bertindak. Membaca menjadikan salah
satu kunci kemajuan zaman serta teknologi, bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa
manusia pun pasti berkembang dengan membaca.
Dalam hal ini, sejarah panjang umat manusia menunjukkan bahwa membaca
akan selalu menjadi pintu masuk menuju peradaban dan keberhasilan. Dalam islam,
wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dimulai dengan kata “Iqra”
(bacalah). Meski beliau sendiri tidak bisa membaca dan menulis, Nabi justru
menekankan pentingnya ilmu pengetahuan.
Bahkan, para tawanan perang Badar yang bisa membaca, dijadikan guru bagi
kaum Muslimin sebagai tebusan. Ini menandakan bahwa betapa mulianya kegiatan
membaca. Semangat ini kemudian diwarisi oleh generasi setelahnya. Umar bin
Khattab Ra berpesan agar ilmu diikat dengan menulis, sebuah pernyataan yang
menunjukkan bahwa membaca dan menulis adalah dua sisi yang saling melengkapi.
Pada masa keemasan Islam di bawah Dinasti Abassiyah, Khalifah Al-Ma’mun
mendirikan Bayt Al-Hikmah di Baghdad, tempat para cendekiawan menerjemahkan,
membaca, dan mengkaji karya-karya besar dari Yunani, Persia, hingga India. Juga
tokoh-tokoh seperti Hunayn ibn Ishaq dan Al-Kindi lahir dari tradisi membaca
yang kuat.
Seperti dalam dunia Barat, dikutip dari The Essays or Counsels, Civil
and Moral karya Francis Bacon (seorang filsuf Inggris). Dia pernah
menegaskan, “Reading maketh a fullman” membaca membuat seseorang menjadi
manusia seutuhnya. Sementara di tanah air, Ki Hajar Dewantara menekankan
pentingnya membaca bagi generasi muda agar terbebas dari belenggu kebodohan.
Maka jelas, dari wahyu pertama di Gua Hira hingga tokoh-tokoh besar
lintas zaman dan budaya, membaca bukan sekadar kebiasaan, melainkan anjuran
yang menumbuhkan peradaban. Selain itu, karena manusia tidak akan pernah luput
dari datangnya masalah, hal yang dapat dilakukan manusia adalah mencari solusi
dari masalah-masalah tersebut. Manusia ditugaskan untuk menyelesaikan masalah
bukan untuk lari darinya dan salah satu cara untuk menyelesaikan masalah
tersebut adalah dengan membaca.
Comments
Post a Comment