MEMBACA MENJADIKAN MANUSIA SEUTUHNYA

(source: pinterest)

Oleh: Ahmad Fakhry

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak pernah terlepas dari kesalahan maupun kebenaran dalam berbagai aspek. Oleh karena itu, terdapat perintah untuk senantiasa mencari dan membaca dalam setiap bidang kehidupan. Hal ini sejalan dengan wahyu pertama yang diturunkan dalam Al-Quran, yaitu kalimat “Iqra’” yang dalam ilmu bahasa arab bentuknya disebut fiil amr sehingga menjadikannya kata perintah yang bermakna “bacalah”.

Namun, perlu diketahui bahwa kata Iqra’ memiliki beberapa penafsiran, bukan hanya bacalah tapi menelitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, dan lain-lain. Maka objek perintah iqra’ tidak sesempit hanya membaca buku, tapi mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.

Menurut penafsiran Imam al-Razi yang wafat pada tahun 1209 M, kata iqra’ memiliki makna mendalam. Beliau menekankan bahwa iqra’ adalah simbol pencarian ilmu. Bagi Imam Al-Razi juga, membaca bukan hanya soal huruf dan kata, tapi juga meliputi segala bentuk pengenalan ilmu: membaca wahyu, membaca alam, dan membaca diri sendiri. Menariknya, beliau mengatakan bahwa Allah memulai risalah-Nya dengan perintah membaca, bukan dengan salat atau zakat. Artinya, ibadah ritual tidak bisa terlaksana tanpa dibarengi ilmu.

Seperti yang dijelaskan juga oleh salah seorang cendekiawan muslim Indonesia Quraish Syihab dalam buku Wawasan Al-Quran, beliau menafsirkan kata iqra’ sebagai perintah universal: membaca diri sendiri, dan membaca realitas sosial.

Oleh karena itu, manusia diwajibkan untuk membaca dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, di balik perintah membaca, terdapat berbagai kesulitan untuk menjalaninya, termasuk kesulitan untuk membaca diri sendiri. Dalam proses membaca, sering muncul berbagai kesalahan, salah satunya adalah kekeliruan dalam memahami situasi dan kondisi diri.

Dalam kegiatan membaca, setiap orang memiliki caranya masing-masing. Pada bagian ini akan dijelaskan salah satu metode membaca, menyesuaikan diri dengan keadaan, serta menyelesaikan permasalahan secara efisien.

Dalam perjalanan hidup, manusia sering mengalami naik-turunnya proses menuju pencapaian diri. Pada saat tertentu, muncul rasa stres atau frustrasi yang tidak dapat diprediksi kapan datangnya. Namun, manusia senantiasa memiliki jalan keluar dari setiap masalah.

Dalam Al-Quran juga disebutkan berbagai solusi atas persoalan hidup, salah satunya melalui perintah membaca Iqra’. Begitu pula menurut Cania Citta dan Abigail Limuria dalam buku Makanya, Mikir!, bahwa salah satu penyebab munculnya rasa frustrasi atau stres adalah kurangnya membaca. Membaca yang dimaksud bukan sekadar teks, melainkan proses memahami berbagai aspek yang berkaitan dengan diri. Hal ini menuntut setiap individu untuk mengenal lebih dalam setiap aspek tersebut. Metode yang dijelaskan dalam buku tersebut mencakup beberapa langkah:

1.     Jadilah Realistis bukan Idealis

Realistis berarti memahami kondisi sebagaimana adanya. Sejumlah filsuf dan psikolog menekankan pentingnya sikap realistis. Machiavelli dalam The Prince menegaskan bahwa seorang pemimpin harus menghadapi manusia sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang diharapkan. Begitu juga Freud, beliau menekankan prinsip realitas, bahwa kedewasaan ditandai oleh kemampuan menyesuaikan diri dengan dunia nyata.

Dalam psikologi modern, Albert Ellis melalui Reason and Emotion in Psychotherapy dan Viktor Frankl dalam Man’s Search for Meaning mengingatkan bahwa kebijaksanaan bukanlah mengurung diri dalam Idealisme, melainkan berdamai dengan realitas dan bekerja bersama kenyataan yang ada. Dengan demikian, dari filsafat politik hingga psikologi klinis, pesan yang disampaikan tetap sama: jadilah realistis, bukan idealis yang kosong.

2.     Paham akan Prioritas bukan Fokus pada Tujuan

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia akan selalu menghadapi berbagai kepentingan yang berdatangan. Namun, tidak semua hal yang dianggap penting memiliki tingkat kepentingan yang sama.

Ada beberapa kepentingan yang dapat dilakukan dengan orang lain, sehingga tidak harus ditangani sendiri. Sementara kepentingan yang harus ditangani secara pribadi pun belum tentu dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, setiap kepentingan dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori menurut modifikasi Matriks Eisenhower dari buku Makanya, Mikir!: 

Tipe 1

Penting; punya tenggat waktu atau deadline.

Definisi
Sesuatu itu penting untuk dilakukan, membutuhkan keahlian spesifik kita (sebaiknya tidak dilakukan orang lain), dan ada tenggat waktu.

    Prioritas
    Lakukan segera


Tipe 2


Tidak penting; ada tenggat waktu.


Definisi
Sesuatu itu penting untuk dilakukan, tidak membutuhkan keahlian spesifik kita (bisa dilakukan orang lain), dan ada tenggat waktu.

        

    Prioritas                Delegasi segera

Tipe 3


Penting; tidak ada tenggat waktu.


Definisi
Sesuatu itu penting untuk dilakukan, membutuhkan keahlian spesifik kita (sebaiknya tidak dilakukan orang lain), dan tidak ada tenggat waktu.

      Prioritas
     Jadwalkan untuk       dilakukan nanti

Tipe 4


Tidak penting; tidak ada tenggat waktu.


Definisi
Sesuatu tidak penting untuk dilakukan dan tidak ada tenggat waktu.

 

    Prioritas
    Tinggalkan/buang

Sumber: Cania Citta & Abigail Limuria, Makanya, Mikir! (2024: 194)

Setelah pembagian kepentingan di atas, kata “penting” biasanya merujuk pada hal-hal yang berpengaruh terhadap tujuan atau yang bermanfaat bagi individu. Sedangkan yang disebut “tidak penting” berarti tidak berpengaruh terhadap tujuan dan tidak bermanfaat bagi diri.

Dalam konteks tersebut, hal-hal yang tidak penting sebaiknya tidak dimasukkan ke dalam daftar kepentingan (to-do list) sejak awal, atau ditinggalkan agar daftar prioritas menjadi lebih terfokus.

Setelah menyingkirkan atau menyeleksi tugas yang tidak penting, langkah berikutnya adalah menyusun urutan prioritas. Menurut Prinsip Pareto, dalam kehidupan sehari-hari secara umum, 80% hasil berasal hanya dari 20% usaha yang dilakukan.

Hukum 80/20 ini merupakan fenomena yang diamati oleh Vilfredo Pareto, seorang ekonom Italia, pada tahun 1896. Saat itu, ia menemukan bahwa 80% tanah di Italia dimiliki oleh 20% populasi, sementara 20% tanaman di lahannya menghasilkan 80% hasil panen.

Ia kemudian meneliti berbagai industri dan sektor lain, dan menemukan pola serupa. Akan tetapi, rasio 80:20 ini tidak bersifat mutlak. Secara sederhana, perbandingan ini menunjukkan bahwa satu proporsi jauh lebih besar dibandingkan proporsi lainnya.

Di sini, rumus 80/20 dapat digunakan dengan pembagian “signifikan” dan “kurang signifikan”. Hal-hal yang termasuk 20% Pareto dimasukkan ke kategori “signifikan”, sedangkan 80% sisanya ke dalam kategori “kurang signifikan”.

Selain pembagian berdasarkan signifikansi, hal-hal tersebut juga dapat dikelompokkan menurut apakah dapat didelegasikan kepada orang lain atau tidak. Variabel “mendesak” (urgent) juga perlu dimasukkan pada tahap berikutnya. Untuk memperjelas, berikut disusun tabel pengertian variabel-variabel tersebut:

Variabel

Pertanyaan Acuan

Jawaban

Ya

Tidak

Signifikan

Seberapa berdampak ke tujuan atau seberapa berguna untuk kita jika hal ini dilakukan? (Gunakan Prinsip Pareto)

80%
Pareto

20%
Pareto

Bisa
Didelegasikan

Seberapa krusial hal ini harus dilakukan oleh kita sendiri?
Cek pertanyaan-pertanyaan berikut untuk menjawabnya:
1. Apa hanya kita yang bisa menyelesaikan hal ini dengan baik?
2. Seberapa fatal potensi konsekuensinya jika bukan kita yang mengerjakan?

Tidak krusial (bisa dilakukan orang lain)

Krusial

Mendesak
(urgent)

Seberapa dekat tenggat waktunya untuk mengurus/menyelesaikan tugas ini (dari waktu masuk/sampainya tugas ke kita)?

Tenggat waktu sangat dekat

Tidak ada tenggat waktu














                

Sumber: Cania Citta & Abigail Limuria, Makanya, Mikir! (2024: 201)

Catatan: jika jawabannya “tidak”, maka otomatis masuk ke kategori lawannya (misalnya “tidak signifikan”, “tidak bisa didelegasikan”, atau “tidak mendesak”)

Setelah masuk ke dalam variabel tadi, langkah selanjutnya adalah mencoba menyaring berbagai urusan atau tugas yang masuk ke dalam radar kita. Dari proses ini akan tersisa hal-hal yang layak dimasukkan ke dalam daftar tugas (to-do list)

Proses ini mencakup dua hal: apakah urusan tersebut penting, dan apakah bisa didelegasikan. Jika tidak penting, sebaiknya diabaikan. Jika bisa didelegasikan, serahkan kepada orang lain.

Setelah penyaringan selesai dilakukan, tahap berikutnya adalah menyusun prioritas (to-do list). Urutan ini dapat dibagi menjadi empat bagian: 

 

Prioritas 1
Signifikan dan mendesak.


Prioritas 2
Kurang signifikan,
tapi mendesak.


Prioritas 3
Signifikan, tapi tidak mendesak.

Prioritas 4
Kurang signifikan dan tidak mendesak.

 

Sumber: Cania Citta & Abigail Limuria, Makanya, Mikir! (2024: 203)

3.     Mengenal dan Berdamai dengan Diri Sendiri

Setiap individu memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda, dan tidak semua memiliki kekuatan yang sama untuk mencapai tujuan masing-masing. Memahami kondisi dan situasi diri merupakan salah satu kunci untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Ketika kondisi diri dipahami dengan baik pada saat menjalani proses, akan lebih mudah untuk mengetahui jalan yang tepat guna mencapai tujuan. Dengan memahami kondisi diri, seseorang secara tidak langsung dapat berdamai dengan dirinya pada keadaan saat ini.

Mengenal dan berdamai dengan diri juga merupakan salah satu faktor kebahagiaan manusia. Terkadang, ketika seseorang terlalu berharap lebih pada gambaran atau standar tinggi yang diciptakan kemudian tidak tercapai, akan timbul rasa frustrasi atau kegagalan.

Keadaan ini disebut avoidance coping (coping penghindaran) dalam buku Seni Berdialog dengan Diri Sendiri karya Dr. Muhammad Ibrahim. Artinya, menggabungkan standar yang hampir mustahil dicapai dengan kecenderungan menghindar dari masalah, lalu melarikan diri darinya, dapat menjadi faktor munculnya stres dan depresi.

Oleh karena itu, menentukan tujuan yang sesuai dengan kondisi saat berproses merupakan salah satu bentuk keberhasilan dalam memahami diri dan berdamai dengan keadaan. Tidak ada kewajiban untuk memiliki cita-cita atau tujuan yang tinggi, tetapi setiap individu diwajibkan untuk terus berproses dan berusaha dalam setiap lini kehidupan. Cita-cita atau tujuan yang tinggi tetap sah untuk dimiliki, asalkan disertai pemahaman tentang langkah-langkah untuk mencapainya. Sering kali tujuan yang tinggi tidak diiringi dengan pengetahuan tentang tahapan konkret untuk mewujudkannya.

4.     Memahami Faktor Eksternal dan Internal dalam Hidup Kita

Sebagai manusia, hanya keadaan yang telah ditetapkan oleh Tuhan yang dapat diterima tanpa pilihan. Sejak lahir, individu tidak bisa menentukan kondisi maupun keluarga tempat ia dilahirkan. Hal ini dapat disebut sebagai faktor eksternal. Adapun pengelolaan faktor eksternal bergantung pada cara individu menyikapinya.

Penyesuaian diri terhadap keadaan serta penentuan langkah-langkah ke depan untuk mencapai tujuan termasuk ke dalam faktor internal. Faktor eksternal dan internal dapat dijelaskan secara sederhana agar lebih mudah dipahami :

a)     Faktor Eksternal: Hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, seperti lahir di keluarga atau negara seperti apa, privileges, penyakit yang datang tiba-tiba, krisis ekonomi dunia, dan ain-lain.

b)    Faktor Internal: Hal-hal yang bisa kita kendalikan, seperti bagaimana cara kita berpikir, regulasi emosi, dan lain-lain.

Dari penjelasan faktor eksternal dan internal di atas, dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang merupakan ketetapan dari Tuhan, tidak dapat diubah. Namun, hal tersebut tetap bisa dikelola. Kemampuan mengelola apa yang telah diberikan merupakan salah satu bentuk keberhasilan seseorang dalam hidupnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini dapat diilustrasikan melalui permainan kartu. Dalam permainan tersebut, pemain tidak bisa menentukan kartu yang akan diterima. Namun, yang menentukan kemenangan adalah bagaimana cara memainkan kartu yang diperoleh.

Dari permainan kartu tersebut, tergambar bagaimana setiap keadaan dapat dikelola. Keadaan yang buruk tidak selalu menjadikan seseorang menjadi pribadi yang buruk. Namun, hasil akhirnya sangat bergantung pada bagaimana keadaan itu dikelola hingga mampu menghasilkan pencapaian yang baik.

5.     Memahami Konsep Threshold

Secara bahasa, threshold berarti ambang pintu. Dalam konteks kehidupan, isitilah ini merujuk pada titik batas transformasi dari umum menjadi rinci, dari kabur menjadi jelas. Konsep ini dapat digunakan sebagai acuan dalam menyeleksi keputusan.

Dengan demikian, threshold dapat dipahami sebagai konsep mengerucut, yakni saat sebuah keputusan yang awalnya abstrak dipersempit hingga menemukan bentuk detailnya. Contoh penerapannya dapat dilihat pada “KKM” (Kriteria Ketuntasan Minimal) di dunia pendidikan. Siswa yang tidak mencapai KKM tidak dapat dinyatakan lulus atau naik kelas.

Dalam konteks ini, kita akan menyeleksi berbagai keputusan yang tidak sesuai dengan nilai minimal dalam hidup kita. Sebagaimana dijelaskan dalam buku Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria, konsep threshold terbagi menjadi tiga bagian :

a)     Cost-Benefit Analysis (CBA)

Dalam setiap pengambilan keputusan, seseorang cenderung mempertimbangkan seberapa besar keuntungan dan kerugian yang mungkin timbul. Namun, bagaimana cara mengetahui besaran kerugian dan keuntungan suatu keputusan dengan tepat?

Untuk itu, konsep Cost-Benefit Analysis (CBA) dapat digunakan untuk membantu proses tersebut. Melalui konsep ini, berbagai keputusan dikelompokkan berdasarkan keuntungan (benefit) dan kerugian (cost). Setelah pengelompokan dilakukan, akan terlihat besarnya keuntungan dan kerugian dari setiap keputusan yang diambil.

b)     Value (Nilai yang sesuai dengan kondisi diri kita)

Setelah keuntungan dan kerugian setiap keputusan diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah memberi nilai pada masing-masing keputusan sesuai dengan keadaan dan kondisi yang ada. Besaran tersebut dapat dihitung menggunakan skala angka 1-5. Dalam tabel benefit, angka 5 menandakan keuntungan yang sangat besar bagi diri kita, begitupun sebaliknya. Jika dalam tabel benefit menunjukan angka 1, maka keuntungan pada diri kita tidak terlalu berpengaruh atau biasa saja.

Sementara dalam tabel cost, angka 5 menunjukkan kerugian yang sangat besar, sedangkan angka 1 menunjukkan kerugian yang relatif ringan.

Dengan demikian, penggunaan angka pada tabel disesuaikan dengan besaran dampaknya terhadap kehidupan kita. Semakin besar angkanya, semakin besar pula pangaruhnya. Sebaliknya, semakin kecil angkanya, maka semakin kecil pula pengaruhnya terhadap kehidupan kita.

Setelah itu, angka-angka dari setiap keputusan dijumlahkan untuk memperoleh hasil total. Dari hasil tersebut dapat terlihat keputusan mana yang paling merugikan maupun yang paling menguntungkan.

Contoh: Jika suatu keputusan mendapat nilai benefit 4 dan cost 2, maka dapat dipahami bahwa keputusan tersebut cenderung menguntungkan. Sebaliknya, jika benefit hanya 2 sementara cost 5, maka keputusan itu lebih banyak menimbulkan kerugian.

c)     Probabilitas (Seberapa kemungkinan keputusan yang akan terjadi dalam hidup kita)

Probabilitas merupakan ukuran matematis yang menunjukkan seberapa besar kemungkinan suatu peristiwa terjadi, terutama ketika seseorang dihadapkan pada berbagai pilihan keputusan. Melalui probabilitas, setiap kemungkinan dapat dipertimbangkan secara kuantitatif sehingga memudahkan dalam menentukan keputusan yang paling rasional.

Probabilitas suatu keputusan ditentukan berdasarkan skala angka 0–1. Semakin besar angkanya, semakin tinggi pula kemungkinan terjadinya keputusan tersebut. Besaran probabilitas ini kemudian dikelompokkan ke dalam setiap keputusan yang telah tersaring melalui CBA dan Value.

Setelah pengelompokan probabilitas dilakukan, angka-angka tersebut dijumlahkan. Hasil total kemudian digabungkan dengan nilai dari CBA dan Value untuk menghasilkan perhitungan keseluruhan.

Setelah total keseluruhan angka diketahui, keputusan yang paling akurat dapat diambil melalui proses panjang tersebut. Perlu dipahami bahwa proses ini hanya sebagian kecil dari banyak metode yang ada. Oleh karena itu, upaya mencari dan mempelajari proses lain tidak boleh berhenti.

Misalnya dalam memilih antara melanjutkan kuliah atau langsung bekerja, keputusan dianalisis melalui tiga tahap. Pada tahap CBA, kuliah dinilai memiliki manfaat yang lebih besar meskipun biayanya juga tinggi, sedangkan bekerja memiliki manfaat sedang dengan biaya rendah.

Pada tahap Value, kuliah mendapat skor benefit 4 dan cost 3, sementara bekerja mendapat skor benefit 3 dan cost 2. Selanjutnya, probabilitas kesuksesan kuliah diperkirakan sebesar 0,7, sedangkan bekerja sebesar 0,4. Setelah dikalkulasikan, kuliah menghasilkan nilai total 0,7, sedangkan bekerja 0,4. Dengan demikian, berdasarkan analisis CBA, Value, dan Probabilitas, pilihan melanjutkan kuliah lebih unggul daripada langsung bekerja.

Gambaran singkatnya bisa dilihat sebagai berikut:
Misalnya ada dua pilihan keputusan:

1.   Melanjutkan kuliah
2.   Langsung bekerja

-  Probabilitas melanjutkan kuliah sukses → 0,7 (70%)
-  Probabilitas langsung bekerja sukses → 0,4 (40%)

Artinya, peluang keberhasilan kuliah lebih besar (0,7) dibanding langsung bekerja (0,4).

Contoh Keseluruhan (CBA + Value + Probabilitas)
Kita gabung menjadi tiga tahap:
1. Cost-Benefit Analysis (CBA)
-     Kuliah: benefit lebih besar, cost cukup tinggi.
-     Kerja: benefit sedang, cost rendah.
2. Value (Skala 1–5)
-     Kuliah → benefit 4, cost 3
-     Kerja → benefit 3, cost 2
3. Probabilitas (0–1)
-     Kuliah → 0,7
-     Kerja → 0,4

Cara Menghitung Total
Agar mudah, kita jumlahkan angka benefit dan cost, lalu dikalikan dengan probabilitas:
-     Kuliah: (4 – 3) = 1 × 0,7 = 0,7
-     Kerja: (3 – 2) = 1 × 0,4 = 0,4

# Dari hasil ini, kuliah lebih unggul (0,7 > 0,4).

Dalam beberapa penyelesaian masalah yang telah disebutkan di atas, banyak orang mengalami stres karena memiliki tujuan yang sangat tinggi, tetapi tidak mengetahui bagaimana cara mencapainya.

Pada titik inilah “membaca” kembali mengambil peran penting. Membaca tidak hanya membantu menemukan informasi yang relevan untuk mengambil keputusan, tetapi juga membuka wawasan baru yang melampaui tujuan awal. Dari aktivitas membaca, seseorang kerap memperoleh pengetahuan tambahan yang memperkuat fondasi hidupnya.

Mengutip dari kisah yang dialami oleh Buya Hamka, ketika berada dipenjara juga memilih untuk membaca dan menulis. Dari keterasingan itulah lahir Tafsir Al-Azhar, sebuah karya monumental yang justru lahir dari ruang sepi. Membaca memberi mereka cara pandang baru: bahwa masalah bukanlah akhir, melainkan pintu masuk menuju kedewasaan jiwa.

Dari sini kita harusnya sadar, mengapa kita harus membaca? Karena ketika kita sudah banyak membaca, tidak dapat dipungkiri bahwa diri ini telah memiliki tambahan pondasi dalam hidupnya. Ketika ada ombak yang akan menerjangnya, dia akan mudah berpegangan dengan pondasi-pondasi yang dia buat. Dalam artian, ketika kita banyak membaca kita akan memiliki banyak pegangan hidup saat diterpa banyaknya masalah yang muncul.

Dengan demikian, membaca bisa dipahami bukan hanya sekadar hiburan, melainkan jembatan menuju solusi, membuka ruang berpikir, memperluas sudut pandang, dan menghadirkan keberanian untuk bertindak. Membaca menjadikan salah satu kunci kemajuan zaman serta teknologi, bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa manusia pun pasti berkembang dengan membaca.

Dalam hal ini, sejarah panjang umat manusia menunjukkan bahwa membaca akan selalu menjadi pintu masuk menuju peradaban dan keberhasilan. Dalam islam, wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dimulai dengan kata “Iqra” (bacalah). Meski beliau sendiri tidak bisa membaca dan menulis, Nabi justru menekankan pentingnya ilmu pengetahuan.

Bahkan, para tawanan perang Badar yang bisa membaca, dijadikan guru bagi kaum Muslimin sebagai tebusan. Ini menandakan bahwa betapa mulianya kegiatan membaca. Semangat ini kemudian diwarisi oleh generasi setelahnya. Umar bin Khattab Ra berpesan agar ilmu diikat dengan menulis, sebuah pernyataan yang menunjukkan bahwa membaca dan menulis adalah dua sisi yang saling melengkapi.

Pada masa keemasan Islam di bawah Dinasti Abassiyah, Khalifah Al-Ma’mun mendirikan Bayt Al-Hikmah di Baghdad, tempat para cendekiawan menerjemahkan, membaca, dan mengkaji karya-karya besar dari Yunani, Persia, hingga India. Juga tokoh-tokoh seperti Hunayn ibn Ishaq dan Al-Kindi lahir dari tradisi membaca yang kuat.

Seperti dalam dunia Barat, dikutip dari The Essays or Counsels, Civil and Moral karya Francis Bacon (seorang filsuf Inggris). Dia pernah menegaskan, “Reading maketh a fullman” membaca membuat seseorang menjadi manusia seutuhnya. Sementara di tanah air, Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya membaca bagi generasi muda agar terbebas dari belenggu kebodohan.

Maka jelas, dari wahyu pertama di Gua Hira hingga tokoh-tokoh besar lintas zaman dan budaya, membaca bukan sekadar kebiasaan, melainkan anjuran yang menumbuhkan peradaban. Selain itu, karena manusia tidak akan pernah luput dari datangnya masalah, hal yang dapat dilakukan manusia adalah mencari solusi dari masalah-masalah tersebut. Manusia ditugaskan untuk menyelesaikan masalah bukan untuk lari darinya dan salah satu cara untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan membaca.

 

 

 

 


Comments