Di Balik Angka Dua Banding Satu; Menyingkap Hakikat Keadilan Pembagian Waris dalam Islam
Oleh: Ilham Nur
Dewasa ini, kesetaraan gender selalu
menjadi sorotan utama di kalangan masyarakat. Tidak hanya pada bidang sosial,
bahkan persoalan ini juga dibahas dalam agama seakan hal tersebut merupakan
persoalan krusial yang tidak ada titik terangnya.
Misalnya dalam Islam, terdapat
sebuah syariat yang dikenal dengan istilah warisan, yang dimana, syariat ini
tidak terlepas dari penyimbangan-penyimpangan yang didatangkan oleh mereka yang
tidak memahami Islam secara menyeluruh.
Syariat ini dijelaskan oleh Allah
Swt di dalam Al-Quran dan diatur dengan aturan yang sangat ketat dalam hal
pembagian hak ahli waris. Aturan itu kembali ditegaskan oleh Allah Swt bahwa
tidak berhak bagi setiap ahli waris untuk melebihi bagian yang telah ditentukan
kadarnya.
Secara umum, warisan dipahami dengan
sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang kepada orang lain. Bisa juga diartikan
dengan perpindahan kepemilikan dari orang yang sudah meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup. Selain itu, kata ini juga merujuk kepada makna orang
yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.
Dalam perspektif Islam, warisan
disebut dengan al-mirath atau al-irth, yang secara terminologi
adalah perpindahan hak kepemilihan harta seseorang yang telah meninggal kepada
kerabatnya yang berhak menurut syariat. Mekanisme pembagian warisan ini diatur
secara rinci di dalam Al-Quran, Hadis, dan dijabarkan dalam literatur fikih
lainnya.
Namun, aturan tersebut tidak
terlepas dari permasalahan yang berkaitan dengan kesetaraan gender yang
mendesak akan keadilan terhadap bagian perempuan dalam sistem warisan Islam.
para pengusung syubhat ini menuduh bahwa hal tersebut merupakan bukti perendahan
kedudukan dan martabat perempuan di dalam Islam, serta menafikan kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan yang justru menjadi tujuan dari Islam.
Sebelum kita melangkah lebih jauh,
perlu kita ketahui bahwa akar dari munculnya masalah ini adalah adanya
kesalahpahaman terhadap firman Allah Swt yaitu: “lidzakari mithlu hadzil
untsayain” (An-Nisa: 11). Pakar tafsir menerangkan bahwa secara
garis besar, potongan ayat itu merupakan penjelasan dari pembagian warisan anak
laki-laki dan perempuan.
Makna dari ayat tersebut menunjukkan
pembagian warisan anak laki-laki dan perempuan itu berbeda. Dimana anak
laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat dari bagian perempuan. dalam
artian, jika anak perempuan mendapatkan 10 juta maka anak laki-laki akan
mendapatkan bagian sebanyak 20 juta.
Berangkat dari makna tafsiran ayat
tersebut, mereka menilai bahwa konsep pembagian warisan dengan sistem seperti
itu menunjukkan diskriminasi atau penindasan terhadap kaum hawa berupa
ketidakadilan. Walaupun semua sepakat terhadap makna dari ayat tersebut bahwa
bagian harta warisan bagi satu laki-laki itu sama dengan dua bagian perempuan,
akan tetapi permasalahan muncul pada penerapan hukum tersebut yang dianggap
sudah tidak relevan di zaman ini.
Kaum modernis sepakat bahwa bagian
perempuan dalam sistem warisan Islam harus diubah. landasan dari tuntutan
tersebut ialah pengamalan terhadap kaidah bahwa hukum berubah sesuai perubahan
zaman. Mereka memandang bahwa kondisi pada saat ayat itu diturunkan sudah jauh
berbeda dengan kondisi saat ini. Menurut mereka, kondisi masyarakat kala itu,
ketika ayat itu diturunkan tidak memungkinkan diterapkannya prinsip kesetaraan,
karena masyarakat pada saat itu – jahiliyah – sama sekali tidak mengakui hak
perempuan, bahkan tidak mewariskannya sepeserpun.
Menurut Tohir Al-Haddad di dalam
kitabnya yang berjudul imra’atuna fi asy-syarii’ah wa al-mujtama’, ia
mengatakan bahwa kadar pembagian warisan perempuan yang ditetapkan oleh
Al-Quran bisa diubah. Sebab, jika yang menjadi alasan pengurangan bagian
perempuan adalah karena laki-laki mempunyai tanggungan kepada perempuan berupa
nafkah, maka tidak ada pengahalang untuk menyamaratakan bagian di antara
keduanya, dengan melihat kondisi perempuan di masyarakat saat ini.
Dengan demikian, sebenarnya jika
kita perhatikan maka kita mendapati bahwa semua hukum yang berkaitan dengan
perempuan ketika diturunkan pada masa itu sudah mewujudkan keadilan bagi
mereka. Akan tetapi, hari ini dengan adanya perubahan strata sosial perempuan,
hukum dari ayat yang diturunkan 14 abad yang lalu tampak adil, kini dipandang
sebagai ketidakadilan dan kezaliman.
Sebagai contoh yang nyata, perempuan
telah sukses mendominasi serapan tenaga kerja di sektor industri kreatif. Dalam
laporan badan ekonomi kreatif (bekraf) menyebut perempuan secara konsisten
menjadi pemain utama industri kreatif sejak 2011 yang menunjukkan partisipasi
dominan dengan persentase 53,86% . Angka yang cukup mencolok bila dibandingkan
dengan komposisi industri pada umumnya, dimana pekerja perempuan hanya sekitar
37,16% dan laki-laki sebesar 62,84%. Pada 2016, perempuan yang bekerja di
sektor ekonomi kreatif sebanyak 9,4 juta orang.
Tidak hanya itu, data generasi
sandwich menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang termasuk generasi sandwich
dalam extended family sedikit lebih banyak dibanding lak-laki, yaitu:
51,25% perempuan vs 48,75% laki-laki (Litbang Kompas).
Data ini menunjukkan bahwa keadaan
sudah berbeda, sudah banyak perempuan di masyarakat yang derajatnya setara
dengan laki-laki dalam bidang pekerjaan atau ekonomi. Bahkan, mereka justru
lebih di atas dan tanggungannya jauh lebih besar dari pada laki-laki.
Berdasarkan fenomena yang terjadi, mereka berpendapat bahwa umat Islam butuh
kepada perubahan sistem pembagian harta warisan, terkhusus pada bagian
perempuan yang seharusnya setara dengan bagian laki-laki.
Ayat atau nas Al-Quran tidak
berubah, tidak dengan penghapusan, juga tidak dengan penambahan. Namun,
perubahan itu terjadi pada hukum syar’i sesuai dengan kaidah yang mengatakan
bahwa hukum dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Oleh karena itu, menurut sebagian
pandangan, ayat-ayat itu harus ditundukkan pada perubahan demi menegakkan
keadilan bagi perempuan. Dalam sistem Islam, tanggung jawab nafkah berada di
tangan laki-laki, sebab dahulu perempuan tidak bekerja sementara pekerjaan saat
itu sangat berat dan lebih banyak dilakukan oleh budak.
Maka adil jika pada kondisi saat itu
laki-laki lebih banyak mendapatkan bagian harta warisan karena mereka
berkewajiban untuk menafkahi istri dan anggota keluarganya. Namun, jika alasan
perbedaan adalah kewajiban nafkah, sementara saat ini kita mendapati banyak
perempuan yang bekerja untuk menafkahi keluarganya, maka mengapa kita tidak
meninjau kembali hukum warisan dan menegakkan keadilan antara laki-laki dan
perempuan?
Sebagai penolakan terhadap pandangan
tersebut, kita terlebih dahulu harus memahami bahwa kesetaraan/persamaan
berbeda dengan keadilan. Kesetaraan memiliki arti mengangkat salah satu pihak
hingga sama dengan pihak yang lain, sedangkan keadilan adalah memberikan kepada
setiap orang haknya.
Banyak dari kalangan kaum modernis
yang menganggap bahwa kedua istilah ini memiliki makna yang sama. Anggapan ini
tidak benar kecuali dalam kondisi dimana keduanya benar-benar sama dari segala
sisi dan hal itu hampir tidak pernah ada.
Adapun jika terdapat perbedaan, maka
menyamakan kedua hal yang berbeda termasuk bentuk kezaliman. Jika kita melihat
pada isu kesetaraan gender yang sangat diperjuangkan oleh kaum modernis, maka
sangat jelas bahwa menyamakan keduanya dalam segala aspek merupakan bentuk
kezaliman, karena terdapat perbedaan di antara laki-laki dan perempuan. Dan hal
ini diperkuat oleh firman Allah Swt: “Dan laki-laki tidaklah sama dengan
perempuan.” (Ali ‘Imran: 36).
Dari ayat tersebut disimpulkan bahwa
Islam tidak pernah menyeru kepada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
dalam segala hal, sebab hakikat keduanya sangat berbeda. Maka barang siapa yang
menyeru kepada kesetaraan gender secara mutlak dan mengabaikan perbedaan mereka
pada penciptaan dan tabiat, berarti ia justru mendorong perempuan masuk kedalam
jurang kezaliman walaupun ia bermaksud membelanya. Sebab dengan begitu,
perempuan akan dibebani dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan fitrah
penciptaannya. Sedangkan keadilan adalah bahwa setiap jenis memiliki
karakteristik yang sesuai dengannya dan dibebani dengan hal-hal yang cocok
untuknya.
Adapun menuntut mereka melakukan
lebih dari yang bisa ditanggung oleh ciptaannya adalah sebuah kezaliman, oleh
sebab itu Allah Swt melarang adanya tuntutan kesetaraan, sebagaimana
firman-Nya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang Allah karuniahkan
kepada sebagian kamu melebihi sebagian yang lain. (karena bagi laki-laki ada
bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan pun ada bagian dari
apa yang mereka usahakan. Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari kariniah-Nya.
Sungguh, Allah maha mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa: 32).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat
tersebut “janganlah kalian iri terhadap apa yang Allah lebihkan sebagian
kalian atas sebagian yang lain,” baik dalam perkara dunia (harta warisan)
maupun agama. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ummu Salamah yang berkata: “kaum
laki-laki ikut berperang sementara perempuan tidak ikut berperang, dan bagi
kami hanya separuh warisan.” Maka Allah menurunkan ayat ini (QS. An-Nisa:
32).
Selanjutnya, yang menjadi alasan
terkuat adanya perbedaan bagian ahli waris laki-laki dan perempuan adalah beban
finansial. Dan ini merupakan satu-satunya kriteria yang melahirkan perbedaan
antara laki-laki dan perempuan. Dalam hukum syariat Islam, laki-laki dibebani
dengan kebawajiban finansial lebih besar daripada perempuan; mereka wajib
membayar mahar, menanggung nafkah istri, dan menafkahi anak-anak. Sementara
perempuan tidak dibebani dengan kewajiban tersebut. Maka, ketika beban
finansial ini berbeda, perbedaan tersebutlah yang menjadi sebab adanya
perbedaan bagian warisan.
Sesungguhnya Allah menjadikan
warisan itu bersifat wajib, baik bagi ahli waris maupun bagi yang mewariskan. Allah tidak memberikan
kewenangan kepada seseorang yang meninggalkan harta (al-muwarrith) untuk
mengatur pembagian hartanya setelah ia wafat, kecuali pada sepertiga bagian
saja. Maka sistem waris dalam Islam adalah pewarisan harta yang bersifat ijbari
(otomatis/wajib), tidak memerlukan kesepakatan atau akad.
Dengan wafatnya seseorang, seluruh
hartanya akan menjadi harta peninggalan yang akan dibagi berdasarkan kehendak
penciptanya – yaitu Allah – bukan berdasarkan kehendak pemilik harta yang telah
terputus tanggung jawab finansialnya karena kematian. Konsekuensinya, tidak
boleh bagi siapapun untuk mengubah atau mengganti ketentuan bagian warisan,
karena ketentuan itu telah ditetapkan dengan nas yang qat’i, yang tidak
menyisakan satu rincian pun kecuali telah dijelaskan, sehingga ijtihad tidak
dibutuhkan lagi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
ditegaskan bahwa hukum warisan yang terdapat di dalam Al-Quran itu masih
relevan di zaman ini. Mereka yang beranggapan bahwa hukum pembagian warisan
dalam Islam itu harus diubah, sebenarnya itu disebabkan oleh ketidakpahaman
mereka terhadap Islam secara menyeluruh. Oleh karena itu, perlu pemahaman
secara kompleks dan mendalam sebelum memberikan sebuah penghukuman terhadap
sesuatu.
Editor: Fairuz




Comments
Post a Comment