Di Balik Angka Dua Banding Satu; Menyingkap Hakikat Keadilan Pembagian Waris dalam Islam

(Source: Pinterest)

Oleh: Ilham Nur

Dewasa ini, kesetaraan gender selalu menjadi sorotan utama di kalangan masyarakat. Tidak hanya pada bidang sosial, bahkan persoalan ini juga dibahas dalam agama seakan hal tersebut merupakan persoalan krusial yang tidak ada titik terangnya.

Misalnya dalam Islam, terdapat sebuah syariat yang dikenal dengan istilah warisan, yang dimana, syariat ini tidak terlepas dari penyimbangan-penyimpangan yang didatangkan oleh mereka yang tidak memahami Islam secara menyeluruh.

Syariat ini dijelaskan oleh Allah Swt di dalam Al-Quran dan diatur dengan aturan yang sangat ketat dalam hal pembagian hak ahli waris. Aturan itu kembali ditegaskan oleh Allah Swt bahwa tidak berhak bagi setiap ahli waris untuk melebihi bagian yang telah ditentukan kadarnya.

Secara umum, warisan dipahami dengan sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang kepada orang lain. Bisa juga diartikan dengan perpindahan kepemilikan dari orang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup. Selain itu, kata ini juga merujuk kepada makna orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.

Dalam perspektif Islam, warisan disebut dengan al-mirath atau al-irth, yang secara terminologi adalah perpindahan hak kepemilihan harta seseorang yang telah meninggal kepada kerabatnya yang berhak menurut syariat. Mekanisme pembagian warisan ini diatur secara rinci di dalam Al-Quran, Hadis, dan dijabarkan dalam literatur fikih lainnya.

Namun, aturan tersebut tidak terlepas dari permasalahan yang berkaitan dengan kesetaraan gender yang mendesak akan keadilan terhadap bagian perempuan dalam sistem warisan Islam. para pengusung syubhat ini menuduh bahwa hal tersebut merupakan bukti perendahan kedudukan dan martabat perempuan di dalam Islam, serta menafikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang justru menjadi tujuan dari Islam.

Sebelum kita melangkah lebih jauh, perlu kita ketahui bahwa akar dari munculnya masalah ini adalah adanya kesalahpahaman terhadap firman Allah Swt yaitu: “lidzakari mithlu hadzil untsayain” (An-Nisa: 11). Pakar tafsir menerangkan bahwa secara garis besar, potongan ayat itu merupakan penjelasan dari pembagian warisan anak laki-laki dan perempuan.

Makna dari ayat tersebut menunjukkan pembagian warisan anak laki-laki dan perempuan itu berbeda. Dimana anak laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat dari bagian perempuan. dalam artian, jika anak perempuan mendapatkan 10 juta maka anak laki-laki akan mendapatkan bagian sebanyak 20 juta.

Berangkat dari makna tafsiran ayat tersebut, mereka menilai bahwa konsep pembagian warisan dengan sistem seperti itu menunjukkan diskriminasi atau penindasan terhadap kaum hawa berupa ketidakadilan. Walaupun semua sepakat terhadap makna dari ayat tersebut bahwa bagian harta warisan bagi satu laki-laki itu sama dengan dua bagian perempuan, akan tetapi permasalahan muncul pada penerapan hukum tersebut yang dianggap sudah tidak relevan di zaman ini.

Kaum modernis sepakat bahwa bagian perempuan dalam sistem warisan Islam harus diubah. landasan dari tuntutan tersebut ialah pengamalan terhadap kaidah bahwa hukum berubah sesuai perubahan zaman. Mereka memandang bahwa kondisi pada saat ayat itu diturunkan sudah jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Menurut mereka, kondisi masyarakat kala itu, ketika ayat itu diturunkan tidak memungkinkan diterapkannya prinsip kesetaraan, karena masyarakat pada saat itu – jahiliyah – sama sekali tidak mengakui hak perempuan, bahkan tidak mewariskannya sepeserpun.

Menurut Tohir Al-Haddad di dalam kitabnya yang berjudul imra’atuna fi asy-syarii’ah wa al-mujtama’, ia mengatakan bahwa kadar pembagian warisan perempuan yang ditetapkan oleh Al-Quran bisa diubah. Sebab, jika yang menjadi alasan pengurangan bagian perempuan adalah karena laki-laki mempunyai tanggungan kepada perempuan berupa nafkah, maka tidak ada pengahalang untuk menyamaratakan bagian di antara keduanya, dengan melihat kondisi perempuan di masyarakat saat ini.

Dengan demikian, sebenarnya jika kita perhatikan maka kita mendapati bahwa semua hukum yang berkaitan dengan perempuan ketika diturunkan pada masa itu sudah mewujudkan keadilan bagi mereka. Akan tetapi, hari ini dengan adanya perubahan strata sosial perempuan, hukum dari ayat yang diturunkan 14 abad yang lalu tampak adil, kini dipandang sebagai ketidakadilan dan kezaliman.

Sebagai contoh yang nyata, perempuan telah sukses mendominasi serapan tenaga kerja di sektor industri kreatif. Dalam laporan badan ekonomi kreatif (bekraf) menyebut perempuan secara konsisten menjadi pemain utama industri kreatif sejak 2011 yang menunjukkan partisipasi dominan dengan persentase 53,86% . Angka yang cukup mencolok bila dibandingkan dengan komposisi industri pada umumnya, dimana pekerja perempuan hanya sekitar 37,16% dan laki-laki sebesar 62,84%. Pada 2016, perempuan yang bekerja di sektor ekonomi kreatif sebanyak 9,4 juta orang.

Tidak hanya itu, data generasi sandwich menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang termasuk generasi sandwich dalam extended family sedikit lebih banyak dibanding lak-laki, yaitu: 51,25% perempuan vs 48,75% laki-laki (Litbang Kompas).

Data ini menunjukkan bahwa keadaan sudah berbeda, sudah banyak perempuan di masyarakat yang derajatnya setara dengan laki-laki dalam bidang pekerjaan atau ekonomi. Bahkan, mereka justru lebih di atas dan tanggungannya jauh lebih besar dari pada laki-laki. Berdasarkan fenomena yang terjadi, mereka berpendapat bahwa umat Islam butuh kepada perubahan sistem pembagian harta warisan, terkhusus pada bagian perempuan yang seharusnya setara dengan bagian laki-laki.

Ayat atau nas Al-Quran tidak berubah, tidak dengan penghapusan, juga tidak dengan penambahan. Namun, perubahan itu terjadi pada hukum syar’i sesuai dengan kaidah yang mengatakan bahwa hukum dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Oleh karena itu, menurut sebagian pandangan, ayat-ayat itu harus ditundukkan pada perubahan demi menegakkan keadilan bagi perempuan. Dalam sistem Islam, tanggung jawab nafkah berada di tangan laki-laki, sebab dahulu perempuan tidak bekerja sementara pekerjaan saat itu sangat berat dan lebih banyak dilakukan oleh budak.

Maka adil jika pada kondisi saat itu laki-laki lebih banyak mendapatkan bagian harta warisan karena mereka berkewajiban untuk menafkahi istri dan anggota keluarganya. Namun, jika alasan perbedaan adalah kewajiban nafkah, sementara saat ini kita mendapati banyak perempuan yang bekerja untuk menafkahi keluarganya, maka mengapa kita tidak meninjau kembali hukum warisan dan menegakkan keadilan antara laki-laki dan perempuan?

Sebagai penolakan terhadap pandangan tersebut, kita terlebih dahulu harus memahami bahwa kesetaraan/persamaan berbeda dengan keadilan. Kesetaraan memiliki arti mengangkat salah satu pihak hingga sama dengan pihak yang lain, sedangkan keadilan adalah memberikan kepada setiap orang haknya.

Banyak dari kalangan kaum modernis yang menganggap bahwa kedua istilah ini memiliki makna yang sama. Anggapan ini tidak benar kecuali dalam kondisi dimana keduanya benar-benar sama dari segala sisi dan hal itu hampir tidak pernah ada.

Adapun jika terdapat perbedaan, maka menyamakan kedua hal yang berbeda termasuk bentuk kezaliman. Jika kita melihat pada isu kesetaraan gender yang sangat diperjuangkan oleh kaum modernis, maka sangat jelas bahwa menyamakan keduanya dalam segala aspek merupakan bentuk kezaliman, karena terdapat perbedaan di antara laki-laki dan perempuan. Dan hal ini diperkuat oleh firman Allah Swt: “Dan laki-laki tidaklah sama dengan perempuan.” (Ali ‘Imran: 36).

Dari ayat tersebut disimpulkan bahwa Islam tidak pernah menyeru kepada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal, sebab hakikat keduanya sangat berbeda. Maka barang siapa yang menyeru kepada kesetaraan gender secara mutlak dan mengabaikan perbedaan mereka pada penciptaan dan tabiat, berarti ia justru mendorong perempuan masuk kedalam jurang kezaliman walaupun ia bermaksud membelanya. Sebab dengan begitu, perempuan akan dibebani dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan fitrah penciptaannya. Sedangkan keadilan adalah bahwa setiap jenis memiliki karakteristik yang sesuai dengannya dan dibebani dengan hal-hal yang cocok untuknya.

Adapun menuntut mereka melakukan lebih dari yang bisa ditanggung oleh ciptaannya adalah sebuah kezaliman, oleh sebab itu Allah Swt melarang adanya tuntutan kesetaraan, sebagaimana firman-Nya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang Allah karuniahkan kepada sebagian kamu melebihi sebagian yang lain. (karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari kariniah-Nya. Sungguh, Allah maha mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa: 32).

Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut “janganlah kalian iri terhadap apa yang Allah lebihkan sebagian kalian atas sebagian yang lain,” baik dalam perkara dunia (harta warisan) maupun agama. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ummu Salamah yang berkata: “kaum laki-laki ikut berperang sementara perempuan tidak ikut berperang, dan bagi kami hanya separuh warisan.” Maka Allah menurunkan ayat ini (QS. An-Nisa: 32).

Selanjutnya, yang menjadi alasan terkuat adanya perbedaan bagian ahli waris laki-laki dan perempuan adalah beban finansial. Dan ini merupakan satu-satunya kriteria yang melahirkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam hukum syariat Islam, laki-laki dibebani dengan kebawajiban finansial lebih besar daripada perempuan; mereka wajib membayar mahar, menanggung nafkah istri, dan menafkahi anak-anak. Sementara perempuan tidak dibebani dengan kewajiban tersebut. Maka, ketika beban finansial ini berbeda, perbedaan tersebutlah yang menjadi sebab adanya perbedaan bagian warisan.

Sesungguhnya Allah menjadikan warisan itu bersifat wajib, baik bagi ahli waris maupun  bagi yang mewariskan. Allah tidak memberikan kewenangan kepada seseorang yang meninggalkan harta (al-muwarrith) untuk mengatur pembagian hartanya setelah ia wafat, kecuali pada sepertiga bagian saja. Maka sistem waris dalam Islam adalah pewarisan harta yang bersifat ijbari (otomatis/wajib), tidak memerlukan kesepakatan atau akad.

Dengan wafatnya seseorang, seluruh hartanya akan menjadi harta peninggalan yang akan dibagi berdasarkan kehendak penciptanya – yaitu Allah – bukan berdasarkan kehendak pemilik harta yang telah terputus tanggung jawab finansialnya karena kematian. Konsekuensinya, tidak boleh bagi siapapun untuk mengubah atau mengganti ketentuan bagian warisan, karena ketentuan itu telah ditetapkan dengan nas yang qat’i, yang tidak menyisakan satu rincian pun kecuali telah dijelaskan, sehingga ijtihad tidak dibutuhkan lagi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa hukum warisan yang terdapat di dalam Al-Quran itu masih relevan di zaman ini. Mereka yang beranggapan bahwa hukum pembagian warisan dalam Islam itu harus diubah, sebenarnya itu disebabkan oleh ketidakpahaman mereka terhadap Islam secara menyeluruh. Oleh karena itu, perlu pemahaman secara kompleks dan mendalam sebelum memberikan sebuah penghukuman terhadap sesuatu.

 

Editor: Fairuz

Comments