Jejak yang Belum Terpetakan
Oleh: M. AgungAhyan Ilham
Ada masa dalam hidup seorang remaja ketika arah seolah menghilang. Ia berdiri di persimpangan antara anak kecil dan kedewasaan, namun matanya hanya menemukan kabut. Pertanyaan-pertanyaan datang silih berganti: “Mau jadi apa? Untuk apa berusaha?” Semua tampak seperti ruang kosong yang membingungkan.
Kadang, tekanan itu datang dengan cara sederhana tapi menusuk. Berdasarkan penelitian yang dilansir dari jurnal yang diunggah di website Universitas Pahlawan, remaja yang mengalami krisis identitas seringkali disebabkan oleh kebimbangan dan kebingungan dalam menetapkan tujuan hidup serta identitas diri sendiri, yang dipengaruhi oleh harapan orang tua dan lingkungan pertemanan yang tidak sesuai dengan kemampuan diri. Selain itu, ada juga krisis identitas yang berkaitan dengan pemilihan pendidikan lanjutan, sebab keputusan melanjutkan pendidikan berada pada orang tua.
Bentuk tekanan ini pun tak jarang muncul dari momen-momen yang justru sangat sederhana dan dekat dengan kita. Misalnya, perbincangan dengan orang tua saat makan malam: “Nanti mau kuliah di mana?”, komentar guru soal nilai yang harus ditingkatkan, hingga notifikasi media sosial yang penuh dengan pencapaian teman sebaya. Semua terasa seperti dorongan halus yang pelan-pelan berubah menjadi desakan keras, membuat seorang remaja sering merasa hidupnya berjalan dengan peta yang bukan miliknya sendiri.
Erik Erikson, seorang psikolog terkenal di dunia, turut memberikan perhatian terhadap permasalahan ini. Ia menyebutkan bahwa fase ini merupakan konflik “identitas versus kebingungan peran”, di mana seseorang mencoba mendefinisikan dirinya sendiri di tengah tuntutan sosial dan ekspektasi dari sekelilingnya. Tidak jarang, kebingungan itu membuat seorang remaja merasa tersesat, seolah dirinya hanya berjalan tanpa peta.
Tak hanya itu, Abraham Maslow, seorang psikolog asal Amerika Serikat yang dikenal sebagai pendiri aliran psikologi humanistik, juga memberikan pendapat. Ia menyebutkan bahwa pada dasarnya, krisis identitas muncul ketika belum tercapainya aktualisasi diri seseorang. Di mana aktualisasi diri itu dapat dimaknai sebagai proses menjadikan diri sebagai versi terbaiknya secara utuh.
Namun, jejak yang belum terpetakan bukan berarti jalan itu lenyap. Ia hanya menunggu ditemukan melalui pencarian yang sabar. Refleksi kecil, seperti menanyakan pada diri sendiri apa yang membuat hati merasa hidup, sering kali menjadi pintu pertama. Dari sana, langkah-langkah sederhana, sekecil menekuni satu hobi atau mencoba komunitas baru, bisa menumbuhkan rasa percaya diri dan memberikan petunjuk ke mana jalan harus ditempuh. Sebuah laporan di Time bahkan menekankan bahwa tindakan kecil yang bermakna dapat memperkuat mental remaja dan membantu mereka menemukan tujuan hidup yang lebih jelas.
Carl Rogers, seorang psikolog humanistik, beranggapan bahwa krisis identitas dapat diselesaikan dengan cara menerima diri apa adanya, menjadi diri sendiri dalam bersosial, dan menemukan lingkungan yang mendukung keautentikan diri. Contohnya, ketika kita bersosialisasi, sifat atau sikap yang kita tunjukkan haruslah asli bahwa itulah diri kita, bukan diri yang dibuat-buat. Sebab ketika kita memaksakan diri untuk terlihat sempurna di mata orang lain, hal itu justru membuat diri kita menjadi lelah dan toxic.
Di sisi lain, James Marcia, seorang psikolog asal Kanada, mengatakan bahwa krisis identitas dapat diselesaikan dengan cara menghindari hidup berdasarkan tekanan sosial. Misalnya, menghindari sikap yang seolah-olah harus memenuhi standar sosial yang bermunculan di media sosial. Dimana hal seperti itu membuat diri kita merasa harus menjadi seperti yang orang lain inginkan.
Perjalanan itu memang tidak instan. Ada kegagalan yang harus diterima, ada keraguan yang datang lagi meski arah sudah mulai tampak. Tetapi justru di situlah letak pembelajaran penting: bahwa mencari jalan hidup bukan perkara menemukan satu jawaban mutlak, melainkan proses berulang untuk mengenali diri. Dan semakin berani seseorang menapaki proses itu, semakin tajam pula ia melihat ke dalam dirinya.
Adapun beberapa cara untuk menyikapi tantangan tersebut dijelaskan oleh Viktor Frankl, seorang psikiater dan neurolog asal Austria, yang berpendapat bahwa dalam menghadapi tantangan, kita harus melihatnya sebagai kesempatan untuk melayani sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Misalnya, ketika kita merasa gagal dalam suatu hal, kita tidak boleh menganggap bahwa kegagalan itu merupakan akhir dari perjalanan. Sebaliknya, kita harus beranggapan bahwa kegagalan tersebut adalah permulaan dari sesuatu yang besar yang akan kita dapatkan ke depannya.
Dengan penerapan prinsip ini, lambat laun, jejak yang semula samar akan mulai terlihat jelas. Jawaban atas pertanyaan “Aku mau jadi apa?” bukan lagi tentang profesi semata, melainkan tentang apa yang membuat hidup terasa berguna, nyata, dan otentik.
Jejak itu pada akhirnya bukan sesuatu yang diberikan dari luar, melainkan lahir dari keberanian untuk berjalan dalam ketidakpastian. Ketika seorang remaja menyadari hal itu, ia tidak akan lagi takut pada jalan yang belum terpetakan, karena ia tahu setiap langkah yang ia ambil selalu punya arah di dalam dirinya sendiri.
Editor: Sofyansyah




Comments
Post a Comment